MITRABERITA.NET | Sengketa empat pulau di wilayah Aceh kembali membuka ruang diskusi yang lebih dalam tentang ketimpangan relasi pusat dan daerah, khususnya terkait implementasi perjanjian damai MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Bagi sebagian pihak, ini bukan sekadar konflik tapal batas, tetapi menjadi momentum penting bagi Aceh untuk menagih janji sejarah yang selama dua dekade belum dituntaskan.
Dr. Usman Lamreung, Pengamat Politik dan kebijakan publik sekaligus akademisi Universitas Abulyatama, menilai Polemik Empat Pulau ini justru menjadi pintu masuk strategis bagi Aceh menekan Pemerintah Republik Indonesia agar lebih serius dan konsisten dalam merealisasikan butir-butir perjanjian MoU Helsinki.
“Selama ini, kewenangan Aceh sebagaimana tertuang dalam UUPA terlalu sering diabaikan dalam praktik pemerintahan. Ini bukan sekadar masalah administratif, tapi menyangkut kredibilitas perjanjian damai yang menjadi dasar perdamaian nasional,” ujar Usman.
Dalam keterangan kepada MITRABERITA.NET, Jumat 20 Juni 2025, Dr Usman Lamreung menjelaskan, polemik ini menunjukkan bahwa Aceh belum sepenuhnya mendapatkan penghormatan atas kekhususannya, meskipun telah diakui secara konstitusional.
Ia menilai banyak kebijakan nasional masih dilahirkan tanpa konsultasi atau pelibatan Pemerintah Aceh dan DPRA, padahal itu menjadi kewajiban hukum dalam kerangka UUPA.
“Kasus empat pulau ini mencerminkan betapa MoU Helsinki belum sepenuhnya dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut wilayah dan kedaulatan Aceh,” tegasnya.
Usman juga menyoroti sebagian besar pejabat di tingkat pusat saat ini tidak memahami konteks historis MoU Helsinki. Akibatnya, pelaksanaan otonomi khusus cenderung bersifat formalistik dan tidak menyentuh substansi desentralisasi kekuasaan.
Namun, di balik polemik ini, terdapat peluang besar bagi Aceh untuk mendorong revisi dan penguatan implementasi UUPA, yang saat ini juga sedang diajukan ke Pemerintah Republik Indonesia.
Usman menilai, perlu ada gerakan kolektif dari tokoh-tokoh nasional dan lokal yang pernah terlibat langsung dalam proses damai, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, agar suara Aceh kembali mendapatkan tempat di forum-forum strategis nasional.
“Masyarakat Aceh tidak menuntut lebih, mereka hanya meminta agar janji damai yang pernah diikrarkan dijalankan dengan jujur. Otonomi bukan hadiah, tapi hasil perjuangan dan kesepakatan bersama,” tegas Usman Lamreung.
Editor: Redaksi