Eks Aktivis Referendum: Implementasi MoU Helsinki dan UUPA Jauh dari Harapan

  • Bagikan
Delegasi Pemerintah Indonesia Hamid Awaluddin (kiri) dan Petinggi GAM Malik Mahmud (kanan) saat berjabat tangan setelah menandatangani MoU Helsinki yang dimediasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari (tengah). Foto: Wikipedia

MITRABERITA.NET | Pesta demokrasi baru saja usai, dan hasilnya menunjukkan bahwa rakyat Aceh telah memilih pemimpin yang mereka harapkan untuk menyelesaikan masalah yang telah berlarut selama dua dekade.

Salah satu isu utama yang menjadi sorotan adalah implementasi MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dinilai masih jauh dari harapan.

Menurut Darnisaf Husnur, atau yang akrab disapa Bang Saf, seorang Aktivis Referendum 99, rakyat Aceh sudah muak dengan janji-janji kosong yang diberikan oleh pemerintah pusat. Menurutnya, Aceh terlalu lama menjadi objek janji politik tanpa realisasi yang jelas.

“Dari izin tambang, penggunaan bendera, batas wilayah, hingga pengelolaan keuangan yang masih kacau, semuanya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah pusat dalam menghormati hak-hak Aceh,” tegas Bang Saf.

Dalam keterangan yang diterima Wartawan MITRABERITA, Sabtu 7 Desember 2024, ia mengatakan bahwa pada pemilihan kali ini, rakyat Aceh memberi mandat kepada Muzakkir Manaf dan Fadhlullah untuk menjadi figur yang mereka anggap paling mampu menyelesaikan masalah terkait MoU Helsinki dan UUPA.

“Kepercayaan rakyat ini tidak hanya sebatas pilihan politik, melainkan juga sebagai peringatan kepada pemerintah pusat bahwa Aceh menginginkan solusi nyata, bukan basa-basi,” katanya.

Bang Saf mengingatkan, jika pemerintah pusat terus mengabaikan tuntutan Aceh, maka gejolak baru bisa saja terjadi. “Jika janji-janji MoU tidak ditepati, jangan salahkan rakyat Aceh jika kekecewaan ini berujung pada gejolak baru,” ujarnya.

Aktivis Referendum 99, Darnisaf Husnur alias Bang Saf. Foto: Dok. Pribadi

Bang Saf menegaskan bahwa rasa kekecewaan yang terlalu dalam selalu bisa memicu krisis yang lebih besar di masa depan, apalagi jika perubahan yang diharapkan tidak tercapai.

MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menjadi tonggak sejarah penting dalam hubungan Aceh dan pemerintah pusat. Namun, implementasinya hingga kini dinilai masih jauh dari harapan.

Beberapa poin penting yang menjadi perhatian, seperti pengelolaan sumber daya alam, penentuan batas wilayah, hingga kewenangan dalam pemilu lokal.

“Aceh memiliki hak khusus dalam mengelola tata cara pemilihan, tetapi itu pun seperti sengaja diintervensi,” kata Bang Saf, menyoroti pengabaian terhadap kewenangan Aceh dalam pemilu baru-baru ini.

Dengan memilih Muzakkir Manaf dan Fadhlullah, rakyat Aceh berharap agar kedua sosok tersebut mampu menjadi jembatan yang menghubungkan Aceh dengan Jakarta, serta memperjuangkan hak-hak yang seharusnya diberikan sesuai dengan MoU Helsinki dan UUPA.

“Aceh tidak meminta lebih dari hak yang sudah disepakati dalam MoU dan UUPA. Jika hak ini terus diabaikan, apakah Jakarta siap menanggung risiko dari kekecewaan rakyat Aceh? Biaya yang harus dibayar sangat mahal jika ini terjadi,” tandasnya.

  • Bagikan