MITRABERITA.NET | Dua dekade pasca ditandatanganinya Perjanjian Damai Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, harapan akan perdamaian dan keadilan bagi rakyat Aceh justru kian tergerus oleh kebijakan-kebijakan pusat yang dinilai melanggar semangat MoU tersebut.
Sorotan tajam datang dari Darnisaf Husnur, pria yang akrab disapa Bang Saf, seorang aktivis dari gerakan Referendum Aceh tahun 1999. Dalam pernyataan tegasnya kepada wartawan, pada Sabtu malam 13 Juni 2025, ia menilai komitmen yang dicatat dalam MoU Helsinki, hari ini sudah tidak lagi dihormati.
“Jangankan direalisasikan secara utuh, dari tahun ke tahun, janji-janji itu hanya menjadi fatamorgana. Bahkan hampir dapat dikatakan telah dikhianati,” ujar Bang Saf.
Menurutnya, sejumlah poin penting dalam perjanjian damai justru tak kunjung terealisasi, mulai dari tapal batas Aceh versi 1956 yang masih samar, hingga pembagian hasil migas yang dinilainya tak adil meskipun sudah disepakati 70-30 dalam UUPA.
Namun yang paling mengusik, lanjut Darnisaf, adalah keputusan sepihak pemerintah pusat yang menyerahkan empat pulau yang masuk wilayah Aceh kepada provinsi Sumatera Utara, serta penempatan tambahan batalyon militer di empat lokasi strategis di Aceh.
“Semuanya dilakukan tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh. Ini pelanggaran terang-terangan terhadap pasal-pasal dalam MoU Helsinki yang menegaskan bahwa segala bentuk penambahan pasukan militer harus melalui konsultasi dan persetujuan bersama,” tegasnya.
Bang Saf menuding bahwa langkah pemerintah pusat telah mencederai semangat perdamaian dan berpotensi memantik kembali trauma kolektif masyarakat Aceh atas konflik masa lalu yang berdarah-darah dalam memperjuangkan keadilan.
“Apakah ini bentuk kesengajaan? Apakah pusat memang ingin Aceh kembali membangkang? Sedang dibangunkan harimau yang sedang beristirahat?” kata Bang Saf, penuh nada peringatan.
Ikrar Lamteh, Akan Kembali?
Dalam pernyataannya yang semakin menguatkan kegeraman publik, Darnisaf bahkan menggugah memori sejarah Aceh. Ia mempertanyakan, apakah “Ikrar Lamteh” jilid II perlu kembali terjadi?
Bagi masyarakat Aceh, “Ikrar Lamteh” bukan sekadar peristiwa, melainkan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan pengkhianatan.
Kini, kata dia, istilah itu kembali bergema di kalangan akar rumput sebagai bentuk protes terhadap pembiaran diam-diam yang dilakukan para wakil rakyat.
“Apakah mereka tidak peka bahwa perjanjian ini mulai dilanggar? Ataukah memang sengaja membiarkannya?” sindir Bang Saf.
Ia menekankan, MoU Helsinki bukan hanya dokumen politik, melainkan janji damai yang menjadi pondasi masa depan Aceh. Pengingkaran terhadap MoU berarti membongkar kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Ia pun menutup pernyataannya dengan harapan mendalam agar konflik tak kembali membara di Serambi Mekkah hanya karena kesewenang-wenangan dan ingkar janji. “Semoga nurani bangsa ini belum sepenuhnya beku,” ucapnya lirih, namun penuh makna.
Penulis: Hidayat | Editor: Redaksi