MitraBerita | PT. Wijaya Karya Gedung (Persero) Tbk dan PT. Nindya Karya (Persero), KSO, yang mengerjakan proyek di Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya, harus menghadapi masalah dengan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Safrizal ZA.
Pj Gubernur Aceh Tegur Keras WIKA dan Nindya Karya Gara-gara Pawang Hujan
Setelah video viral yang menunjukkan seorang pawang hujan, Rara Istiati Wulandari, melakukan ritual di stadion menuai kontroversi, Pj Gubernur memanggil pihak perusahaan dan meminta perusahaan memberikan klarifikasi terkait praktik tersebut.
Pertemuan antara Pj Gubernur dan perwakilan PT. WIKA-Nindya digelar pada Rabu 28 Agustus 2024, di ruang kerja Gubernur Aceh. Pj Gubernur Safrizal didampingi oleh Pj Sekda, Asisten Sekda, dan Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda Aceh, sedangkan perusahaan diwakili oleh Deputi DPM Firmansyah dan KSKA Aditia.
Dalam pertemuan tersebut, pihak perusahaan mengakui bahwa kehadiran Rara Istiati Wulandari sebagai pawang hujan adalah keputusan yang diambil untuk mengantisipasi cuaca buruk selama proyek berlangsung.
Namun, mereka mengakui bahwa tindakan tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan sensitivitas budaya dan nilai-nilai keislaman masyarakat Aceh.
Sebagai tindak lanjut, Pj Gubernur meminta agar Rara segera dipulangkan, dan keputusannya dilaksanakan dengan pemulangan Rara melalui Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, pada penerbangan siang hari yang sama.
Pj Gubernur juga menekankan pentingnya klarifikasi dan permohonan maaf publik dari pihak perusahaan, mengingat bahwa Aceh sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan budaya lokal.
“Aceh adalah daerah yang sangat menjaga nilai-nilai keislaman. Setiap kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut harus dihentikan,” tegas Safrizal.
Insiden ini bermula dari video berdurasi 27 detik yang menunjukkan Rara Istiati Wulandari melakukan ritual di pinggir Stadion Harapan Bangsa.
Video tersebut menunjukkan Rara melakukan ritual sambil menengadahkan kepala ke langit, dengan beberapa pekerja proyek mengikuti dan menonton.
Video ini viral dan memicu reaksi negatif dari masyarakat Aceh, yang menganggap praktik tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariat Islam dan budaya lokal.