MITRABERITA.NET | Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi (Abu Salam) angkat bicara soal kasus pembunuhan yang melibatkan oknum anggota Lanal Lhokseumawe, Kelasi Dua (Kld) DI, terhadap Hasfiani alias Imam, warga Aceh.
Jasad korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan di semak-semak kawasan Gunung Salak, Kabupaten Aceh Utara.
Menurut Abu Salam, insiden tersebut merupakan kejahatan serius yang harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
Ia juga menyinggung pentingnya menjaga semangat perdamaian dalam MoU Helsinki agar Aceh tetap menjadi wilayah yang berkeadilan dan aman bagi seluruh masyarakat.
“Peristiwa ini bukan hanya tindakan kriminal biasa, tetapi juga menodai semangat perdamaian yang sudah kita bangun bersama,” kata Abu Salam, Selasa 18 Maret 2025.
“Aceh tidak boleh kembali ke masa lalu yang kelam, di mana nyawa begitu mudah hilang. Kami mendesak agar pelaku dihukum seberat-beratnya sesuai dengan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa dalam konteks hukum nasional, pelaku bisa dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, yang mengancam hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama 20 tahun.
Sementara itu, jika dilihat dari perspektif hukum Aceh, tindakan ini juga bertentangan dengan Qanun Jinayat Aceh, khususnya:
Pasal 8 ayat (1) Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Jinayat, yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang tergolong sebagai jarimah (kejahatan berat).
Pasal 9 ayat (1) mengatur bahwa pelaku pembunuhan bisa dikenakan hukuman diyat (ganti rugi kepada keluarga korban) atau qisas (balasan setimpal sesuai hukum Islam).
Pasal 10 ayat (1) menegaskan bahwa jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, maka pelaku dapat dijatuhi hukuman qisas atau hukuman lainnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Selain menyoroti aspek hukum, Abu Salam juga mengingatkan bahwa kasus ini tidak boleh dianggap remeh karena bisa berdampak pada stabilitas keamanan di Aceh.
Ia menyebutkan bahwa MoU Helsinki yang ditandatangani pada 2005 bukan hanya tentang perjanjian politik, tetapi juga tentang keadilan sosial bagi rakyat Aceh.
“Kita telah melewati masa-masa sulit dan tidak boleh lagi membiarkan tindakan kekerasan kembali mencoreng kedamaian Aceh. Pemerintah harus memastikan tidak ada impunitas bagi aparat yang melanggar hukum. MoU Helsinki mengamanatkan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap oknum aparat negara,” paparnya.
Di sisi lain, Abu Salam mengapresiasi langkah cepat Pomal Lanal Lhokseumawe yang langsung menahan tersangka dan berjanji akan membuka kasus ini secara transparan. Namun, ia menegaskan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup.
“Permintaan maaf dari TNI AL adalah langkah awal yang baik, tapi masyarakat Aceh butuh kepastian hukum yang nyata. Jangan ada perlindungan terhadap pelaku kejahatan, apalagi jika yang terlibat adalah aparat bersenjata,” katanya.
Abu Salam juga meminta agar kasus ini tidak berhenti hanya pada satu tersangka. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas apakah ada keterlibatan pihak lain atau jaringan tertentu di balik insiden ini.
“Kami akan terus mengawal kasus ini agar keluarga korban mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya,” tegasnya.
Abu Salam juga mengingatkan bahwa aparat negara seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan malah menjadi ancaman. Ia meminta institusi TNI melakukan pengawasan ketat terhadap anggotanya agar kejadian serupa tidak terulang.
“Kami tidak ingin ada kasus lain di mana aparat menjadi pelaku kejahatan. Jika ini dibiarkan, rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada institusi negara. Kami tegaskan, hukum harus ditegakkan sekeras mungkin, jangan ada kompromi!” pungkasnya.