MitraBerita | Di tengah suasana nyaman dan keindahan kehidupan perkotaan di Banda Aceh, ada ancaman serius yang setiap waktu terus mengintai.
Asap rokok yang membumbung di udara di Banda Aceh tidak hanya mengubah aroma lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan dan kehidupan banyak orang.
Data dari Universitas Indonesia menyatakan setiap hari sekitar 500 orang meninggal dunia di Indonesia dengan perincian data terakhir jumlah korban laki-laki 100.680 jiwa dan perempuan 89.580 orang dengan total 190.260 per tahun (2010).
Fakta menunjukkan tren merokok semakin meningkat setiap tahunnya. Seiring dengan peningkatan tersebut bermunculan penyakit yang erat dekat dengan kematian.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rokok membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun, dengan 7 juta di antaranya adalah perokok aktif dan 1,2 juta lainnya adalah perokok pasif.
WHO juga memperkirakan angka kematian akibat rokok terus meningkat menjadi 23,3 juta orang pada tahun 2030. Di Indonesia saja, jumlah perokok dewasa meningkat sebanyak 8,8 juta orang dalam dekade terakhir, mencapai angka 69,1 juta pada tahun 2021.
Padahal, WHO menyebut merokok salah satu penyebab utama kematian yang dapat dicegah, namun masih banyak orang enggan mengambil tindakan cepat yang bermanfaat itu.
Data terbaru menunjukkan lebih dari 200.000 kematian akibat penyakit yang terkait dengan merokok setiap tahun di Indonesia, bahaya rokok sebenarnya menjadi isu yang tak bisa diabaikan.
Berbagai sumber mengatakan, sebatang rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia berbahaya, di mana sekitar 70 di antaranya adalah karsinogen.
Penyakit seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah beberapa akibat fatal dari kebiasaan buruk merokok yang harusnya menarik diperhatikan oleh para perokok.
Pentingnya penerapan KTR
Manajer Riset The Aceh Institute Bisma Yadhi Putra, mengatakan pentingnya kampanye Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui media massa, agar sosialisasinya bisa menyentuh ke berbagai kalangan.
Hal itu disampaikan dalam kegiatan Workshop tentang Memperkuat Peran Media Dalam Mempromosikan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Banda Aceh, yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute, di Kantor Media Komparatif, Kamis 3 Oktober 2024.
Bisma menuturkan, dalam penyampaian melalui media ke depan, wartawan perlu meningkatkan kualitas materi atau konten tentang yang akan dipublikasi, tentang bahaya merokok.
Sebab, menurut Bisma, selama ini pemberitaan dari media massa masih sekedar informasi tentang kegiatan dan sosialisasi The Aceh Institute saja, jarang menyentuh pada sisi human interest.
Harusnya, lanjut Bisma, pemberitaan tentang KTR lebih menyentuh esensi kampanye soal kebijakan. Walaupun begitu sulit menanamkan pesan moral kepada perokok, karena fatwa ulama pun masih belum bisa mengubah cara pandang perokok.
“Saat ini poster bahaya rokok di bungkus hingga seruan ulama saja tidak berdampak, apalagi hanya berita kegiatan,” katanya, di Kantor Redaksi Media Komparatif, di kawasan Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala.
Hal senada disampaikan Muhajir Juli, Pemred Media Komparatif.id yang menjadi salah satu narasumber pada acara itu. Dalam kesempatan tersebut, Muhajir Juli menekankan kepada perokok tentang pentingnya menghormati orang tidak merokok di tempat umum.
Muhajir Juli yang mengaku sebagai salah satu perokok aktif, di sisi lain tetap mengajak kepada para perokok untuk menghargai kehidupan orang lain ketika berada di tempat umum, khususnya di kawasan yang menerapkan larangan merokok atau KTR.
“Saya sendiri di kantor dan di dalam rumah tidak merokok. Kalau saya mau merokok pasti saya keluar, baik ke depan rumah atau di belakang rumah, yang tidak mengganggu orang di dalam rumah atau di dalam kantor,” ungkapnya.
Diakui Muhajir, meninggalkan kebiasaan merokok memang sangat sulit, karena merokok sudah menjadi kebiasaan sejak lama, tapi membatasi tempat untuk merokok bisa dilakukan.
“Ini bukan soal tidak boleh merokok, tapi tentang menghargai kehidupan orang lain yang berusaha hidup sehat. Jangan sampai kita merenggut kehidupan sehat orang lain karena keegoisan kita,” ucapnya.
Beratnya meninggalkan rokok
Soal beratnya meninggalkan kebiasaan merokok juga disampaikan Haris, salah satu wartawan dari Kantor Berita Antara, yang hadir dalam kesempatan itu.
Haris pun menceritakan bagaimana pengalaman dirinya saat ingin meninggalkan rokok, yang ternyata tidak semudah mengucapkan kata-kata. Penuh tantangan, terutama dari rekan-rekannya yang memang dari kalangan perokok aktif.
“Jadi memang tidak mudah untuk meninggalkan kebiasaan merokok, saya sudah merasakan itu. Tapi Alhamdulillah saat ini saya sudah tidak merokok,” ungkapnya dalam sesi diskusi.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute itu, para peserta yang hadir pun saling berbagi pengalaman dan menyampaikan masukan dan saran-saran agar penerapan KTR ke depan lebih maksimal.
Hadir langsung pada kesempatan itu, Direktur The Aceh Institute, Muazzinah Yakob, yang sempat bercerita tentang pengalaman dirinya menegur seorang penjabat gubernur karena merokok di kantor, yang mana kantor pemerintah merupakan tempat yang tidak boleh merokok.
Namun, kata Muazzinah, dirinya justru mendapat jawaban tidak menyenangkan dari sosok penjabat gubernur tersebut, yang saat itu mengatakan bahwa kantor itu rumahnya, sehingga merasa bebas bisa merokok.
“Seharusnya dia malu, tapi sama sekali tidak ada rasa malu,” ungkapnya, seraya menambahkan bahwa penjabat gubernur itu saat ini sudah tidak menjabat lagi.
Muazzinah menjelaskan, regulasi yang ada belum berjalan dengan baik, masih menjadi tantangan dalam hal implementasi. Selain kurangnya pemahaman masyarakat, ia juga menyoroti kurangnya komitmen dari pemerintah.