Illiza dan Kepemimpinan Perempuan di Aceh

  • Bagikan
Illiza dan Kepemimpinan Perempuan. Foto: Wikipedia

Kepemimpinan Illiza Sa’aduddin Djamal juga menjadi cerminan dari tradisi panjang perempuan Aceh yang berperan aktif dalam membangun negeri ini.

ACEH, dikenal sebagai negeri yang sarat sejarah dan budaya, selain sebagai wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, perjuangan orang Aceh juga patut diacungi jempol.

Selain itu, sosok perempuan Aceh juga tidak kalah menarik dibahas. Sebagai contoh perempuan yang cerdas dan tangguh yang selalu menginspirasi dunia.

Kini, perempuan Aceh kembali mencatatkan sejarah dalam lembaran sejarahnya mengenai eksistensi kepemimpinan perempuan Aceh dalam sebuah pemerintahan.

Sebagimana diketahui, Kota Banda Aceh saat ini dipimpin oleh seorang walikota perempuan, Illiza Sa’aduddin Djamal. Dalam kepemimpinannya kali ini, Illiza didampingi oleh seorang anak muda, Afdhal Khalilullah.

Bersama wakilnya, Afdhal, pasangan tersebut berhasil memenangkan Pilkada Banda Aceh tahun 2024 dan akan menjabat hingga tahun 2030 mendatang.

Bagi Illiza, ini bukan pertama kalinya ia memimpin Kota Banda Aceh. Sebelumnya, ia pernah menjadi wali kota setelah wafatnya Mawardi Nurdin, yang saat itu menjabat sebagai walikota.

Illiza, yang sebelumnya menjadi wakil walikota, melanjutkan kepemimpinan dengan berbagai kebijakan, termasuk penegakan syariat Islam yang menjadi ciri khas Aceh.

Selama kepemimpinannya di Banda Aceh, berbagai kegiatan razia pun dilakukan dalam upaya untuk mencegah pelanggaran terhadap norma sosial dan agama.

Dalam Pilkada 2024, Illiza berhasil mengalahkan tiga rivalnya yang semua nya laki-laki. Meskipun sempat menghadapi penolakan dari beberapa elemen masyarakat yang menganggap perempuan tidak layak menjadi pemimpin, kemenangan ini membuktikan bahwa mayoritas masyarakat tetap menaruh harapan besar pada kepemimpinan Illiza.

Namun, apakah kepemimpinan perempuan di Aceh merupakan hal yang baru? Jawabannya tentu tidak. Sejarah mencatat bahwa Aceh pernah dipimpin oleh perempuan hebat yang memainkan peran besar dalam perjalanan bangsa ini.

Sejarah Kepemimpinan Sultanah di Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam, salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada abad ke-16 hingga ke-19, pernah dipimpin oleh empat sultanah yang berpengaruh.

Mereka telah membuktikan kepada dunia bahwa kaum perempuan juga mampu menjaga stabilitas politik, mempertahankan wilayah, serta memajukan ilmu pengetahuan dan perdagangan.

1. Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641–1675)

Sebagai perempuan pertama yang memimpin Aceh, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah naik tahta setelah suaminya wafat, Sultan Iskandar Tsani.

Ia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan serta budaya Islam di Aceh.

Selama pemerintahannya, hubungan diplomatik Aceh dengan berbagai kerajaan di Asia termasuk hubungan dengan Eropa tetap terjalin dengan baik.

2. Sultanah Nur Alam Naqiatuddin Syah (1675–1678)

Sultanah Nur Alam Naqiatuddin Syah melanjutkan kepemimpinan setelah Sultanah Tajul Alam wafat. Walaupun masa pemerintahannya singkat, ia berusaha menjaga stabilitas politik Aceh di tengah tantangan internal dan ancaman dari luar.

3. Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah (1678–1688)

Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah menegakkan hukum Islam dengan ketat serta memperkuat pertahanan militer. Ia juga berupaya meningkatkan perdagangan Aceh dengan dunia luar, membangun hubungan baik dengan saudagar, serta memperkuat pengaruh ulama dalam pemerintahan.

4. Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah (1688–1699)

Sebagai sultanah terakhir, Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah menghadapi tekanan besar dari internal dan eksternal, termasuk dari penjajah Belanda yang saat itu semakin agresif.

Meskipun banyak tantangan, ia tetap mempertahankan kedaulatan Aceh hingga akhirnya tampuk kepemimpinan perempuan itu beralih ke laki-laki.

Perempuan dan Masa Depan Aceh

Keberanian dan kecerdasan para sultanah Aceh itu menjadi inspirasi bagi perempuan di masa kini. Sejarah telah membuktikan perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin dengan bijaksana, mengelola pemerintahan, dan menjaga stabilitas politik dan sosial.

Kepemimpinan Illiza Sa’aduddin Djamal juga menjadi cerminan dari tradisi panjang perempuan Aceh yang berperan aktif dalam membangun negeri ini.

Kini, tugas kita bersama adalah membangun Aceh tanpa memandang jenis kelamin pemimpinnya. Seorang pemimpin dinilai bukan dari gendernya, tetapi dari integritas, visi, dan keberaniannya dalam membawa kemajuan bagi masyarakat.

Sudah saatnya kita menghargai dan mendukung setiap individu yang memiliki kapasitas untuk membawa perubahan positif, baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan semangat sejarah dan inspirasi dari para pemimpin perempuan Aceh, mari kita bersama-sama membangun negeri ini dengan penuh optimisme dan kesetaraan.

Penulis: Agustina

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *