MITRABERITA.NET | Dunia kembali dibuat kaget setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kebijakan baru yang mengguncang arena perdagangan global.
Kali ini, Donald Trump menaikkan tarif impor terhadap barang-barang asal China hingga mencapai angka mencengangkan yaitu 245 persen.
Kebijakan kontroversial ini diumumkan langsung melalui lembar fakta resmi yang dirilis Gedung Putih pada Selasa 15 April 2025 waktu setempat.
Langkah ekstrem ini diambil setelah China memberlakukan tarif balasan terhadap produk-produk asal AS, membuat perang dagang antara dua negara raksasa ekonomi dunia tersebut semakin memanas.
“Tarif yang lebih tinggi secara individual saat ini dihentikan sementara di tengah diskusi ini, kecuali untuk China, yang melakukan tindakan balasan,” demikian bunyi pernyataan dari Gedung Putih.
Sebelumnya, Trump telah menaikkan tarif China menjadi 145 persen. Namun kali ini, tanpa ragu ia kembali menggebrak dengan kenaikan yang jauh lebih tinggi.
Pemerintah AS menyebut bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk respons keras terhadap agresivitas tarif dari China.
Sementara untuk negara lain, AS menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari. Penundaan ini diberikan karena banyak negara telah memulai negosiasi dagang dengan Washington.
Untuk sementara, AS akan menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen atas semua barang impor –di luar kebijakan khusus terhadap China.
“Lebih dari 75 negara telah menghubungi untuk membahas perjanjian perdagangan baru,” kata pihak Gedung Putih.
Ketegangan ini semakin memuncak setelah Presiden China, Xi Jinpingj, mengumumkan kenaikan tarif terhadap semua produk asal AS menjadi 125 persen. Dalam pernyataannya, Xi menegaskan bahwa China tidak gentar dengan tekanan dari AS.
Saling balas tarif antara dua negara adidaya ini dalam beberapa pekan terakhir telah menciptakan ketidakpastian yang besar di pasar global.
Para pelaku usaha, investor, dan negara-negara mitra kini menanti bagaimana kelanjutan drama dagang ini akan berakhir.
Apakah ini akan menjadi babak baru perang dagang yang lebih brutal? Atau sekadar taktik negosiasi keras dari dua pihak? Saat ini, dunia tengah menahan napas.