ACEH, salah satu daerah dengan hasil alam melimpah, sejak lama telah menjadi incaran bangsa penjajah. Emas yang berkilau di perut buminya, kilang minyak yang tak pernah tidur, dan letaknya yang strategis di gerbang barat Nusantara menjadikannya ladang rebutan kekuasaan dunia. Tapi para penjajah selalu menyadari satu hal bahwa kekayaan Aceh bukanlah sesuatu yang mudah direbut.
Setiap langkah mereka di tanah ini disambut perlawanan. Bukan sekadar perlawanan bersenjata, tapi ada hal lain yang selalu melekat pada setiap jiwa orang Aceh, bahwa kehormatan lebih berharga daripada kekayaan, dan kemerdekaan lebih penting dari hidup itu sendiri.
Di tanah ini, perempuan menjadi panglima, dan anak-anak tumbuh dengan kisah keberanian sebagai warisan. Inilah Aceh, tanah kaya yang tak pernah rela dijajah, dan rakyatnya yang mewarisi keberanian dari generasi ke generasi bak bara yang tak pernah padam meski zaman terus berganti.
Tanah ini dijuluki Serambi Mekkah, namun dalam sejarahnya juga dikenal sebagai Serambi Perlawanan paling sengit. Sejak berabad-abad silam, bumi Aceh tak hanya dikaruniai keindahan alam yang menakjubkan, tapi juga sumber daya alam yang melimpah. Dari dulu dikenal begitu banyak rempah-rempah, emas, minyak bumi, dan gas alam.
Namun kekayaan itu bak api yang memancing ngengat, mengundang bangsa-bangsa penjajah datang dengan rakus dan licik, berambisi menancapkan kuku kekuasaan di tanah para pejuang.
Dikutip dari berbagai sumber, sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-20, Aceh menjadi medan tempur ambisi kolonial dan harga diri sebuah bangsa yang tak mau tunduk pada ketidakadilan dan penjajahan.
Aceh yang letaknya sangat strategis di mulut Selat Malaka menjadikannya simpul emas jalur perdagangan dunia. Bukan hanya pedagang Arab dan India yang singgah, tetapi juga armada Eropa yang lapar akan rempah dan tambang. Di antara mereka, Belanda adalah yang paling ngotot. Mereka mengincar bukan hanya hasil bumi Aceh, tetapi juga kedaulatannya.
Namun sejarah mencatat, Aceh bukan tanah yang bisa dibeli dengan tipu muslihat atau ditaklukkan dengan kekuatan senjata modern. Di balik hijaunya pegunungan dan derasnya sungai-sungai Aceh, mengalir darah juang yang tak mengenal kata menyerah.
Pada tahun 1824, ketika Traktat London ditandatangani oleh Inggris dan Belanda. Dalam perjanjian itu, Belanda harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh.
Tapi keserakahan selalu mencari celah. Tahun 1871, lewat Traktat Sumatra, Inggris memberi lampu hijau bagi Belanda untuk memperluas pengaruhnya di Pulau Sumatra, termasuk di Nanggroe Aceh Darusallam.
Dengan restu politik, Belanda pun mengirim pasukan pertamanya ke Aceh tahun 1873. Dipimpin oleh Jenderal Johan Köhler, mereka datang dengan arogansi kekuatan barat. Namun mereka disambut dengan perlawanan dahsyat dari pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Polem dan Sultan Mahmud Syah. Bahkan Köhler tewas di medan tempur, sebuah tamparan keras bagi kolonialisme.
Belanda membalas dengan mengirim ekspedisi kedua. Tahun 1874, mereka berhasil menduduki ibu kota dan merobohkan istana Sultan. Tapi pengumuman “kemenangan” itu hanyalah fatamorgana. Di saat yang sama, Sultan Mahmud Syah wafat dan digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood, menandai babak baru perlawanan.
Kesultanan Aceh berpindah-pindah, mulai dari Keumala Dalam, Indrapuri, dan sejumlah wilayah lainnya. Tapi semangat rakyat tidak pernah berpindah, mereka tetap setia pada tanah air.
Dari Peukan Bada ke Krueng Raya, dari Pidie hingga Peusangan, rakyat Aceh, laki-laki dan perempuan, bangkit satu demi satu membawa senjata dengan tekad yang membara.
Ketika pertempuran terbuka tak lagi seimbang, rakyat Aceh memilih jalan lain berupa perang gerilya. Didorong oleh semangat jihad fi sabilillah, para Pejuang Aceh menggunakan hutan, bukit, dan malam sebagai pelindung. Dalam perang semacam ini, lahirlah tokoh besar yang kemudian menjadi legenda yaitu Teuku Umar.
Dengan kecerdikan luar biasa, Teuku Umar sempat berpura-pura tunduk pada Belanda untuk mendapatkan senjata dan informasi, hanya untuk kemudian membelot dan menyerang dari dalam. Aksinya mengguncang penjajah. Tapi tahun 1899, sang pahlawan gugur dalam penyergapan di Meulaboh.
Warisan perjuangan itu tak berhenti. Cut Nyak Dhien, istrinya, maju memimpin pasukan. Bersama kelompok Inong Balee (para janda pejuang), ia melanjutkan perang dari hutan ke hutan hingga akhirnya ditangkap dan diasingkan. Tapi semangatnya tidak pernah terasing dalam sejarah.
Dari sekian lama berperang, Belanda mengalami kekalahan demi kekalahan, yang membuat mereka harus mengganti taktik perang dengan strategi yang membuat Aceh terpecah.
Saat itu, Belanda mengirim seorang orientalis, Snouck Hurgronje, untuk menyusup ke jantung budaya Aceh. Ia mempelajari agama, adat, dan celah penting dalam masyarakat Aceh.
Dari laporan Snouck, Belanda menjalankan strategi liciknya dengan memecah belah antara ulama dan bangsawan, menargetkan tokoh agama, dan merangkul rakyat kecil dengan infrastruktur dan simbol palsu.
Gubernur Van Heutsz mengeksekusi strategi ini dengan brutal antara 1898 hingga 1904. Pada tahun 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah pun akhirnya terpaksa harus menyerah.
Kesultanan Aceh ketika itu langsung dibubarkan. Tapi seperti generasi Aceh memang seperti bara api yang tak pernah padam, perlawanan tidak terhenti. Bentrokan kecil terus terjadi hingga tahun 1942, hampir 70 tahun! Ini bukan perang biasa. Ini perlawanan harga diri orang Aceh.
Ada beberapa nama pahlawan Aceh yang hingga sekarang masih dikenang bahkan diakui perannya dalam melawan penjajah. Berkat perlawanan para pahlawan Aceh itu, lahirlah banyak perlawanan lainnya.
Beberapa nama yang tetap dikenang dan diakui sebagai pahlawan Aceh di antaranya; Teuku Chik Ditiro. Ia pahlawan Aceh yang syahid dalam perlawanan di Aceh Besar, tahun 1891.
Cut Meutia. Sosok pejuang perempuan yang tak gentar meski ditinggal suami di tiang gantungan. Dan satu nama lainnya yang sangat fenomenal yaitu Sultan Iskandar Muda. Sosok yang membawa Aceh ke masa keemasannya, sosok yang paling ditakuti bangsa bangsa Eropa pada masanya. Ia tetap menjadi simbol kejayaan dan martabat orang Aceh sampai saat ini.
Mereka bukan sekadar tokoh masa lalu. Mereka adalah suara hati Aceh yang tetap menggema dalam denyut generasi hari ini. Kini, generasi muda hidup di era digital, di mana perjuangan tak lagi dengan senjata, tetapi dengan pengetahuan dan integritas.
Namun nilai yang diwariskan oleh para pejuang Aceh tetap relevan: berani melawan ketidakadilan, menjaga kehormatan, dan mencintai tanah air tanpa syarat.
Siapa pun kalian, jangan pernah terbesit untuk menguasai Sumber Daya Alam Aceh dengan cara-cara yang tidak adil, karena api perlawanan itu tidak pernah padam, ia hanyalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Ditulis oleh: Hidayat (Wartawan Media MITRABERITA.NET)