Kewenangan mengatur urusan Pertanahan disebutkan di dalam UUPA. “Aceh diberi mangga, tapi masam, bukan manis,” kata Munawar Liza Zainal.
MITRABERITA.NET | Tokoh Perdamaian Aceh, Munawar Liza Zainal, angkat bicara soal lambannya implementasi kewenangan pertanahan yang seharusnya menjadi hak Pemerintah Aceh berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Menurutnya, persoalan tanah yang berlarut-larut di Aceh, seperti konflik Tanah Blang Padang, Kolam Renang, hingga sengketa lahan peninggalan Belanda dan Jepang yang kini dikuasai militer, berakar dari ketidakpatuhan terhadap amanah MoU Helsinki, UUPA, dan peraturan turunannya.
“Kewenangan mengatur urusan pertanahan, termasuk dalam kewenangan Aceh. Ini tidak termasuk enam kewenangan eksklusif Pemerintah Pusat sesuai dengan MoU Helsinki,” ujar Munawar tegas, Senin 30 Juni 2025.
Wali Kota Sabang periode 2007-2012 itu menjelaskan bahwa amanat tersebut telah diturunkan ke dalam hukum positif melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam Pasal 17 disebutkan bahwa pelayanan pertanahan adalah urusan wajib Pemerintah Aceh. Bahkan, dalam Pasal 213 Bab XXIX disebutkan secara spesifik tentang perlindungan hukum terhadap tanah wakaf.
Selanjutnya, payung hukum itu ditegaskan kembali dalam Peraturan Presiden RI No. 23 Tahun 2015, yang memerintahkan pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh dan kantor-kantor pertanahan kabupaten/kota menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA).
Perpres itu bahkan menetapkan bahwa seluruh proses pengalihan kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, aset, dan dokumen harus rampung dalam waktu satu tahun.
Namun kenyataannya, kata Munawar, sudah sembilan tahun berlalu sejak Perpres tersebut diterbitkan pada tahun 2015, proses pengalihan kewenangan itu belum juga terlaksana secara nyata.
“Kisahnya ibarat ada perjanjian, kita diberi mangga. Memang mangga sudah diberi, tapi masam, bukan mangga manis yang seharusnya kita dapatkan,” sindir Munawar.
Ia menyindir dengan perumpamaan yang menggambarkan bagaimana Aceh diberi kewenangan di atas kertas, tapi tanpa implementasi penuh di lapangan.
Menurutnya, jika Pemerintah Indonesia benar-benar konsisten menjalankan MoU Helsinki, UUPA, dan Perpres 23/2015, maka seluruh persoalan pertanahan di Aceh dapat diselesaikan secara adil dan bermartabat oleh Pemerintah Aceh sendiri.
“Badan Pertanahan Aceh memang sudah ada, tapi tidak diberi kewenangan sebagaimana tertulis dalam UU dan Perpres. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi soal martabat dan kedaulatan dalam pengelolaan tanah di Aceh,” jelasnya.
Pernyataan Munawar Liza ini kembali menegaskan pentingnya komitmen politik dan hukum dari pemerintah pusat untuk menghormati perjanjian damai dan aturan turunan yang telah disepakati bersama.
Ia menegaskan, pelaksanaan yang setengah hati terhadap kewenangan Aceh hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat dan memperpanjang ketidakadilan struktural di tanah yang telah lama berjuang untuk keadilan tersebut.
Penulis: Hidayat | Editor: Redaksi