Indeks

YLBH CaKRA Desak Polisi Usut Kasus Warga Terpapar Gas Beracun PT PIM

  • Bagikan
YLBH CaKRA Desak Polisi Usut Kasus Warga Terpapar Gas Beracun PT PIM. Foto: Ahmad Mirzda

MITRABERITA.NET | Yayasan Lembaga Bantuan Hukum YLBH Cahaya Keadilan Rakyat Aceh (CaKRA) mendesak pihak kepolisian turun tangan mengusut kasus keracunan gas yang dialami warga di lingkungan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM).

CaKRA menilai ada sesuatu yang perlu diusut tuntas untuk melihat secara jelas apa masalah yang terjadi, sehingga warga kembali terpapar aroma tidak sedap dan membuat warga tumbang.

“Kita melihat kejadian di lingkungan PT PIM ini sudah berulang kali. Karena itu, kita mendesak kepolisian untuk mengusut masalah ini agar tidak terulang lagi ke depan,” ujar Ketua YLBH CaKRA, Fakhrurrazi SH, Rabu 8 Januari 2025.

Fakhrurrazi mengatakan, bagi pihak perusahaan mungkin bisa saja menganggap paparan gas beracun itu hal yang biasa, tapi bagi masyarakat hal itu sangat berbahaya dan akan menimbulkan trauma.

“Selama ini kita kan tidak tau bagaimana tanggungjawab perusahaan terhadap warga yang menjadi korban dari paparan gas beracun tersebut, apakah mereka sudah mendapatkan hak haknya dengan layak atau belum?,” katanya.

Fakhrurrazi mengatakan, PT PIM seharusnya menyampaikan secara transparan bagaimana mereka memperlakukan korban yang terpapar bahaya gas beracun dari perusahaan.

Dia menegaskan, tanggungjawab perusahaan tidak hanya bagi warga yang menjadi korban seperti dalam insiden tersebut, tapi warga yang tinggal di sekitar perlu diperhatikan secara menyeluruh.

“Jangan sampai masyarakat merasa tidak nyaman berada di sekitar perusahaan. Makannya kits desak kepolisian untuk melakukan investigasi dan mengusut tuntas masalah ini jangan sampai kembali terulang seperti kemarin,” tegasnya.

Advokat tersebut juga menjelaskan, masyarakat yang menjadi korban keracunan akibat tindakan perusahaan dapat ditemukan dalam beberapa peraturan dan ketentuan hukum di Indonesia, baik dalam hukum pidana, perdata, maupun hukum administrasi.

Beberapa dasar hukum yang relevan adalah sebagai berikut:

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 126 undang-undang ini mengatur tentang kewajiban setiap orang, termasuk perusahaan, untuk menjaga dan memastikan kesehatan masyarakat. Jika suatu perusahaan menyebabkan keracunan atau masalah kesehatan lainnya, mereka dapat dikenakan sanksi administratif atau pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 7 undang-undang ini menegaskan bahwa setiap konsumen berhak mendapatkan barang atau jasa yang aman dan tidak membahayakan kesehatan. Jika sebuah perusahaan menyebabkan keracunan, mereka dapat diminta pertanggungjawaban sebagai pelanggaran terhadap hak konsumen.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 359 dan 360 KUHP mengatur tentang kelalaian yang mengakibatkan cidera atau kematian, termasuk dalam kasus keracunan yang disebabkan oleh kelalaian perusahaan dalam mengelola produk atau bahan yang dijual.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 98 dan 99 dalam UU ini mengatur tentang tanggung jawab perusahaan terkait dengan dampak lingkungan, termasuk polusi atau kontaminasi yang bisa menyebabkan keracunan pada masyarakat. Perusahaan yang menyebabkan keracunan dapat dijerat dengan pidana lingkungan.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pangan Peraturan ini mengatur tentang keselamatan pangan. Jika perusahaan menyebabkan keracunan akibat produk pangan yang tidak aman, mereka dapat dikenakan sanksi administratif atau pidana sesuai ketentuan yang ada.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017 tentang Keamanan Pangan Mengatur tentang kewajiban perusahaan dalam memproduksi dan mendistribusikan pangan yang aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Jika terbukti ada keracunan akibat pangan, perusahaan dapat dipertanggungjawabkan.

“Secara keseluruhan, perusahaan yang menyebabkan keracunan terhadap masyarakat dapat dikenakan tuntutan hukum berdasarkan ketentuan hukum tersebut, baik dalam bentuk ganti rugi, sanksi administratif, atau sanksi pidana, tergantung pada tingkat pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan,” tutupnya.

  • Bagikan
Exit mobile version