Izin Tambang di Raja Ampat dan Bukti Lemahnya Pengawasan terhadap Kerusakan Lingkungan

Izin Tambang di Raja Ampat dan Bukti Lemahnya Pengawasan terhadap Kerusakan Lingkungan. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr

MITRABERITA.NET | Pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang oleh pemerintah di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menandai babak baru dalam upaya pelestarian lingkungan.

Namun, di balik keputusan yang tampak progresif ini, tersimpan ironi: bagaimana izin-izin tersebut bisa terbit dan bertahan begitu lama, padahal tidak memenuhi syarat administratif dasar?

Langkah pencabutan diumumkan langsung Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang menyebut bahwa keputusan ini didasarkan pada evaluasi dari aspek lingkungan, teknis, serta masukan dari masyarakat dan pemerintah daerah.

“Alasannya pertama memang secara lingkungan, yang kedua adalah memang secara teknis setelah kami melihat ini sebagian masuk di kawasan geopark, dan yang ketiga adalah keputusan ratas dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga adalah melihat dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa 10 Juni 2025.

Menurut Bahlil, Presiden Prabowo juga telah memerintahkan untuk dilakukan pengawasan ketat terhadap seluruh aktivitas pertambangan yang masih berlangsung di lapangan, khususnya di kawasan ekologis sensitif seperti Raja Ampat.

“Jadi amdal-nya harus ketat, reklamasinya harus ketat, tidak boleh merusak terumbu karang. Jadi betul-betul kita akan awasi habis terkait dengan urusan di Raja Ampat,” tegasnya.

Apalagi, Raja Ampat dikenal dunia sebagai kawasan konservasi laut dan darat dengan keanekaragaman hayati luar biasa. Masuknya aktivitas tambang di wilayah ini sejak awal menimbulkan kontroversi, bahkan perlawanan dari masyarakat sipil dan kelompok pemerhati lingkungan hidup.

Penertiban ini merupakan bagian dari pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang menjadi dasar hukum dalam penataan ulang izin-Izin Tambang di seluruh Indonesia.

Namun Bahlil mengakui bahwa penertiban ini baru dimulai secara aktif sejak dua bulan terakhir. “Dua bulan kami melakukan kerja, Perpresnya keluar Januari, langsung kami kerja maraton. Dan kita kan melakukan penataannya kan banyak,” jelasnya.

Lebih jauh, fakta bahwa keempat perusahaan tersebut tidak memiliki dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) maupun AMDAL menimbulkan pertanyaan serius mengenai keberadaan pemerintah.

“Satu perusahaan dinyatakan berproduksi kalau ada RKAB-nya. RKAB-nya itu bisa jalan kalau ada dokumen amdal-nya. Dan mereka tidak lolos dari semua syarat administrasi itu,” ungkap Bahlil.

Kalimat tersebut menjadi potret paling jujur dari lemahnya sistem pengawasan dan tata kelola perizinan pertambangan. Pasalnya, perusahaan yang tidak memiliki dokumen dasar seperti AMDAL dan RKAB bisa tetap eksis, menunjukkan celah besar dalam sistem pengendalian yang seharusnya ketat, apalagi di kawasan sekelas Raja Ampat.

Meski pemerintah berharap pencabutan ini dapat menegaskan arah kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, publik masih menanti keseriusan tindak lanjutnya.

Tanpa reformasi struktural dalam sistem perizinan dan pengawasan, pencabutan ini hanya akan menjadi titik koma dalam deretan panjang kompromi terhadap lingkungan.

Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar kertas izin atau angka produksi, melainkan masa depan ekosistem yang menjadi warisan dunia.

Editor: Redaksi