MITRABERITA.NET | Keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang mengalihkan empat pulau milik Aceh ke wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara menuai kecaman tajam dari mantan kombatan perempuan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini tergabung dalam Yayasan Askarimah Aceh.
Mereka menilai kebijakan ini bukan sekadar persoalan administratif, tapi merupakan penghinaan terhadap nilai perdamaian yang dibangun bersama dengan susah payah selama dua dekade.
Empat tokoh Askarimah dari berbagai wilayah Aceh angkat bicara. Mereka berbicara tidak dengan nada amarah biasa, tapi dengan suara yang membawa getaran sejarah perlawanan panjang Aceh terhadap segala bentuk ketidakadilan.
Safrida, Ketua Askarimah wilayah Abdya menilai keputusan Mendagri sebagai tanda bahaya yang tidak boleh diabaikan. Ia mengaitkan kebijakan tersebut dengan sejarah pengingkaran janji pusat terhadap Aceh.
“Kami dari Pasukan Inong Balee yang hari ini tergabung dalam Yayasan Askarimah Aceh terus memantau perkembangan bagaimana kebijakan dari pemerintah pusat untuk Aceh. Kita melihat apakah janji damai itu masih berlaku atau memang ada rencana berkhianat lagi seperti kasus ikrar Lamteh,” katanya kepada media, Selasa, (17/6/2025).
Sementara itu, Rita Afnita, Ketua Askarimah wilayah Nagan Raya menyampaikan kritik langsung kepada Presiden RI Prabowo Subianto, agar bertindak tegas terhadap menteri yang dianggap merusak suasana damai Aceh.
“Presiden Indonesia Prabowo Subianto harus mencopot menteri yang memancing benih-benih konflik dan mengancam perdamaian. Jangan sampai Presiden Prabowo dianggap ikut terlibat, jika tidak berani mencopot menteri yang suka bikin gaduh, jangan merusak perdamaian yang masih 20 tahun,” ujarnya tajam.
Lebih jauh, Dahniar, Ketua Askarimah wilayah Lhokseumawe menyerukan kesiapan generasi Askarimah Aceh untuk kembali berperang jika harga diri Aceh terus direndahkan. Ia menegaskan bahwa semangat perlawanan tidak pernah padam.
“Kami selalu siap dengan berbagai risiko. Kita siap berperang membela Aceh jika sampai Aceh kembali dikhianati. Ini soal harga diri, kalau memang tidak dianggap lagi keberadaan kita, kita masih bisa angkat senjata,” katanya.
Ia kembali mengingatkan bahwa dari zaman penjajahan Belanda hingga sekarang, semangat rakyat Aceh tak pernah padam dalam berjuang dan mempertahankan harga diri bangsa Aceh.
“Bagi rakyat Aceh harga diri lebih besar daripada hidup kami sendiri, karena itu kami minta jangan selalu memancing konflik. Damai ini masih terlalu muda untuk dikhianati,” tambahnya.
Sedangkan Fatimah Abdullah, Ketua Askarimah wilayah Aceh Timur menjelaskan bahwa perdamaian tidak boleh hanya dijadikan simbol tanpa keadilan dan penghormatan.
“Kita sudah berdamai, harusnya hidup kita betul-betul damai dan saling menghargai. Jangan karena kita diam dalam damai terus diinjak-injak harga diri kita. Jangan meremehkan harga diri bangsa lain, jangan meremehkan orang yang diam,” ucapnya mengingatkan.
“Dari dulu kita ingin merdeka, tapi sampai saat ini kita masih mau hidup bersama. Kalau keadilan tidak ada nilainya, harga diri kita tidak dianggap, jangan salahkan generasi Aceh kembali memberontak,” tegasnya.
Para tokoh Askarimah Aceh ini mengingatkan bahwa ketika orang-orang yang selama ini diam mulai angkat suara, itu berarti situasi sudah sangat genting, tidak boleh dianggap sepele. “Pemerintah pusat jangan merusak perdamaian,” tutupnya.
Editor: Tim Redaksi