MITRABERITA.NET | Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjadi sorotan tajam setelah keputusan Kemendagri menyerahkan empat pulau yang selama ini dianggap milik Aceh ke wilayah administrasi Sumatera Utara.
Keputusan Kemendagri tersebut dianggap tidak menghargai marwah rakyat Aceh, sehingga langsung memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari anggota DPR RI asal Aceh, Nazaruddin Dek Gam.
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, yang selama ini dihuni oleh warga yang memegang KTP Aceh dan masuk dalam administrasi Kabupaten Aceh Singkil.
Namun, berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, keempat pulau itu kini malah resmi menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Menanggapi kebijakan tersebut, Dek Gam tak bisa menahan amarahnya. “Saya minta Mendagri untuk segera mengembalikan pulau tersebut ke Provinsi Aceh,” kata Dek Gam, pada Rabu 11 Juni 2025.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan bahwa sejak dulu masyarakat di empat pulau tersebut telah memiliki identitas resmi sebagai warga Aceh, dan tidak ada alasan yang sah untuk mengalihkan wilayah mereka ke provinsi lain.
“Itu dari dulu masyarakat di sana itu sudah ber-KTP Aceh, jadi semuanya udah ada dasarnya Aceh,” tegas Dek Gam.
Lebih jauh, Dek Gam juga menyindir Tito agar fokus pada urusan yang lebih penting, alih-alih membuat kebijakan yang bisa memicu gejolak atau membuat gaduh di daerah.
“Mendagri lebih baik ngurus yang lain lah. Enggak usah cawe-cawe hal ginian, bikin gaduh aja Mendagri ini,” kecam Dek Gam!
Sementara itu, Tito Karnavian yang mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat terkesan santai menanggapi polemik yang dikhawatirkan memicu konflik baru di Tanah Rencong.
Tito mengatakan pemerintah pusat tidak memiliki agenda tersembunyi dalam keputusan ini. Ia menegaskan, keputusan diambil berdasarkan kajian objektif dari lembaga-lembaga resmi negara, seperti Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI AL, dan Topografi AD.
Menurut Tito, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah telah disepakati dua pemerintah daerah, dan perbedaan hanya terjadi pada batas lautnya.
“Batas daratnya sudah selesai, antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah. Ditandatangani dua belah pihak, cuma batas lautnya,” ujar Tito di Istana Kepresidenan, Selasa 10 Juni 2025.
Namun, masyarakat Aceh yang merasa tidak dihargai belum merasa puas dengan penjelasan Tito yang dinilai mencaplok wilayah Aceh sesuka hati pemerintah pusat.
Apalagi, menurut catatan sejarah, keempat pulau itu sejak 2008 telah ditandai secara resmi oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, termasuk dengan pemasangan prasasti.
Akankah pemerintah pusat meninjau kembali keputusan ini? Atau justru konflik kewilayahan ini akan menjadi bom waktu baru dalam hubungan pusat dan daerah?
Editor: Tim Redaksi