DESEMBER 1948. Asap mesiu masih menggantung di udara. Di Yogyakarta, dentuman senjata penjajah Belanda mengiringi jatuhnya ibu kota Republik Indonesia.
Soekarno dan Hatta ditangkap. RRI yang menjadi satu-satunya corong suara kemerdekaan Indonesia, saat itu berhasil dibungkam. Dunia pun nyaris percaya bahwa Indonesia telah tiada.
Di saat harapan mulai meredup, di kedalaman hutan Aceh, sebuah suara kecil memecah kesunyian malam. Bukan tembakan. Bukan teriakan. Tapi gelombang radio, menyusup lembut ke udara, menembus batas negara, dan berbisik lantang ke dunia.
“Republik Indonesia masih ada!”
Inilah kisah Radio Rimba Raya, secuil teknologi dalam rimba yang menjadi benteng terakhir kemerdekaan Indonesia. Suara yang keluar dari stasiun mungil di tengah hutan ini menjadi saksi bisu dari satu babak paling genting dalam sejarah Republik.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer kedua. Mereka menawan para pemimpin Republik Indonesia, menduduki ibu kota, dan menggempur stasiun-stasiun radio.
Semua corong informasi Republik Indonesia dimusnahkan. Dunia pun dicekoki propaganda bahwa Indonesia tidak ada lagi alias sudah bubar. Yang tersisa hanyalah wilayah-wilayah yang akan segera “dikembalikan” ke tangan Belanda.
Namun, Belanda lupa satu hal bahwa Aceh selalu ada untuk membantu Indonesia agar bisa merdeka dan keluar dari penjajahan Belanda. Aceh berjuang dengan segenap harta, jiwa dan raganya untuk membantu Indonesia.
Di bawah komando Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Dewan Pertahanan Daerah mengambil keputusan berani dengan mendirikan stasiun radio darurat yang akan meneruskan tugas RRI.
Tanah Aceh yang dikenal sebagai “Daerah Modal” Republik Indonesia membuktikan komitmennya bukan hanya dengan harta, tapi juga keberanian luar biasa. Sesuatu yang membuat penjajah gemetar.
Hanya dalam hitungan jam setelah Yogyakarta jatuh, tepatnya malam 20 Desember 1948, gelombang suara dari tengah belantara mulai terdengar.
Dialah Radio Rimba Raya, bersiaran dari jantung Bukit Barisan, menyampaikan kabar kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih bernafas, bahwa perjuangan belum padam.
Radio Rimba Raya bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah peluru informasi yang menembus propaganda Belanda. Siarannya mengudara dalam lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Tionghoa, Urdu, dan Arab.
Melalui Radio Rimba Raya, dunia memperoleh informasi bahwa Indonesia belum mati. Para pejuang masih terus melakukan perlawanan mengahadapi agresi kedua Belanda.
Seperti dikutip dari berbagai sumber, pesan itu disiarkan dengan kekuatan 1 kilowatt di gelombang 19,25 dan 61 meter, suara dari Aceh menjangkau Singapura, Malaysia, Filipina, India, hingga Eropa.
Saat itu, dunia internasional pun mulai bertanya-tanya, jika Republik Indonesia sudah mati, siapa yang sedang berbicara dari tengah hutan itu?
Inilah perang senyap yang dimenangkan dengan kecerdikan orang Aceh, bukan hanya dengan senjata. Radio Rimba Raya, Aceh mengacaukan narasi Belanda dan menjadi titik balik diplomasi internasional.
Tak lama setelah kabar itu berhembus ke berbagai penjuru dunia, status Republik Indonesia yang sudah tidak berdaya pun akhirnya kembali diperhitungkan .
Padahal, menyiarkan kabar dari tengah hutan bukan perkara mudah. Pemancar Radio Rimba Raya jadi incaran militer Belanda. Maka, operasi gerilya bukan hanya dilakukan oleh tentara bersenjata, tapi juga oleh para penjaga pemancar radio.
Pemancar itu berpindah-pindah, dari markas Divisi X Gajah, dikawal oleh Sultan Aman Mar, masuk ke hutan Burni Bies. Bahkan di satu titik, mereka harus bersembunyi dari pesawat intai Belanda dengan menepi di tengah jalan, tiarap di bawah rimbunan pohon, membawa alat berat sambil menahan napas.
Akhirnya, lokasi siaran dipindah ke titik aman di Rimba Raya. Di sanalah suara Republik terus dipancarkan, malam demi malam, sampai tanggal 27 Desember 1949, ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.
Hari ini, Radio Rimba Raya mungkin tak lagi mengudara seperti dulu. Tapi suaranya tak pernah padam. Di Kampung Rimba Raya, Bener Meriah, berdiri sebuah monumen peringatan, Tugu Perjuangan Radio Rimba Raya.
Tugu tersebut bukan hanya batu, tapi penanda dari perlawanan yang dilakukan bukan dengan senjata, namun dengan gelombang suara yang mampu mengubah situasi dan membuat negeri ini masih berdiri hingga hari ini.
Ditulis oleh: Hidayat (Wartawan Media MITRABERITA.NET)