Para “penghisap darah masyarakat” itu tanpa malu kembali mengerahkan ribuan pasukan dan kekuatan militer untuk menghancurkan pemberontakan rakyat.
Semut, meskipun hanya hewan hewan kecil yang terlihat lemah tidak berdaya, namun kalau mereka terus diganggu dan disakiti, maka mereka akan memanfaatkan peluang kekompakan untuk melawan penindasan.
Apalagi manusia yang diberikan kecerdasan dalam berpikir dan bertindak, tentu saja tidak akan tinggal diam jika terus diusik dan diganggu kehidupannya. Seperti kisah perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda.
Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah perjuangan besar yang dipimpin seorang pahlawan bernama Pangeran Diponegoro. Namanya kini tak asing di telinga kita setelah ia ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional.
Pangeran Diponegoro dikenal dalam kisah perjuangannya yang penuh keberanian dan pengorbanan dalam melawan penindasan dan penjajahan Belanda.
Dikutip dari berbagai sumber, Pangeran Diponegoro lahir dari keluarga kerajaan di Yogyakarta. Namun, kehidupannya yang semula penuh kemewahan berubah drastis karena kebijakan Belanda yang semakin menyengsarakan rakyat.
Salah satu kebijakan yang paling dirasakan oleh rakyat pada saat itu adalah tingginya pajak yang dibebankan oleh pemerintahan Hindia Belanda kepada penduduk.
Tidak hanya pajak tanah, pajak rumah, atau pajak barang, tetapi segala sesuatu yang ada di sekitar kehidupan mereka dikenakan pajak. Bahkan pintu rumah dan pekarangan pun harus membayar pajak. Tak heran, rakyat yang sudah menderita semakin terhimpit kesusahan.
Tapi, yang memicu kemarahan Pangeran Diponegoro penduduk bukan hanya pajak, keputusan Belanda untuk mencampuri urusan kerajaan Yogyakarta juga menjadi pemicu lain.
Salah satunya adalah pengangkatan Sultan Hamengku Buwono V yang masih terlalu muda untuk memimpin, keputusan itu semakin memperburuk keadaan karena dianggap sebagai tindakan pengaruh Belanda untuk menguasai keraton.
Diponegoro pun merasa tidak mampu lagi menahan amarahnya ketika melihat tanah kelahirannya terancam dikuasai oleh pemerintahan yang kejam tidak berperikemanusiaan.
Kemarahan yang telah lama terpendam itu akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 1825, ketika peristiwa yang sangat menyakitkan bagi Diponegoro terjadi.
Kala itu, Belanda melalui Residen Smissaert, memasang patok di sekitar makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo, yang dianggap sebagai tanah suci bagi keluarga kerajaan.
Tindakan ini memicu ledakan amarah dan memaksa Diponegoro untuk bangkit melawan penjajah yang telah merampas hak rakyat dan tanah leluhurnya tanpa belas kasih.
Akhirnya, Diponegoro memimpin pendukung yang terdiri dari petani, rakyat jelata, dan para pejuang yang setia. Mereka berjuang dengan sepenuh hati meski dengan peralatan seadanya.
Para pejuang ini rela mengorbankan nyawa demi tanah dan keluarga mereka, meski lawan mereka adalah tentara Belanda yang memiliki persenjataan dan strategi perang yang lebih canggih.
Di bawah kepemimpinan Diponegoro, mereka berjuang dengan tekad yang kuat, berharap dapat mengusir penjajah bercokol di tanah air mereka, yang hanya bisa menikmati kemewahan di atas penderitaan masyarakat.
Perang yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro atau Perang Jawa ini berlangsung selama lima tahun, dari tahun 1825 hingga tahun 1830. Setiap pertempuran mereka pun membawa kisahnya sendiri, yang mana perjuangan itu penuh darah dan air mata.
Kedua belah pihak, Belanda dan pendukung, kehilangan banyak prajurit. Diponegoro, yang semula merupakan seorang pangeran yang hidup tenang di keraton, kini dikenal sebagai pemimpin perlawanan yang gagah berani, hingga dikenal di seluruh penjuru tanah Jawa.
Namun, meski perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro sangat gigih, Belanda tidak tinggal diam. Para “penghisap darah masyarakat” itu tanpa malu kembali mengerahkan ribuan pasukan dan kekuatan militer untuk menghancurkan pemberontakan rakyat.
Pada tahun 1829, Belanda bahkan menawarkan hadiah sebesar 20.000 gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Tapi, dengan segala kepandaian dan strategi perang yang dimilikinya, Diponegoro terus berjuang, tak peduli seberapa berat beban yang harus ditanggung.
Akhirnya, pada tahun 1830, perjuangan besar ini harus terhenti dengan penangkapan Diponegoro. Belanda berhasil menangkapnya melalui sebuah taktik yang licik, yaitu dengan mengundangnya untuk melakukan perundingan damai. Ketika Diponegoro setuju untuk bertemu, ia justru dijebak dan ditangkap.
Kemudian, Diponegoro dibawa ke Semarang, lalu dipindahkan ke Batavia, dan akhirnya ke Makassar. Di sana, pejuang sejati itu menghabiskan sisa hidupnya hingga wafat pada 8 Januari 1855.
Perang Diponegoro bukan sekadar sebuah perang fisik, melainkan sebuah simbol perlawanan terhadap penindasan yang terjadi akibat pajak yang tinggi dan kebijakan sewenang-wenang Belanda.
Perang ini juga menguras banyak tenaga dan sumber daya dari Belanda, dan menjadi salah satu penyebab utama yang memperlambat penguasaan Belanda atas seluruh Nusantara.
Kehilangan ribuan nyawa dalam perang ini, baik dari pihak Belanda maupun penduduk pribumi, meninggalkan luka mendalam di hati rakyat Jawa, khususnya masyarakat Yogyakarta. Bahkan, hampir separuh penduduk Yogyakarta berkurang akibat pertempuran sengit tersebut.
Sejarah ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga tanah air dan perjuangan melawan ketidakadilan, meski harga yang harus dibayar sangat mahal.
Perang Diponegoro salah satu babak besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Walaupun Pangeran Diponegoro tidak melihat hasil akhirnya, perjuangannya tetap memberi inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi penindasan.
Sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia, kita perlu ingat bahwa dalam setiap pertempuran yang terjadi di masa lalu, ada kisah yang tak boleh kita lupakan. Kisah tentang keberanian, pengorbanan, dan semangat untuk membela tanah air. Semoga perjuangan Pangeran Diponegoro tetap menjadi teladan bagi kita semua.