Indeks

Pocut Meurah Intan, Wanita Aceh yang Bikin Belanda Resah Sekaligus Kagum

  • Bagikan
Gambar Pocut Meurah Intan. Foto: Pilar Kebangsaan

Veltman, yang terkesan dengan keberanian Pocut, mencoba menawarkan bantuan medis. Namun, Pocut menolak pertolongan dari dokter Belanda.

Pada awal abad ke-20, penjajah Belanda menganggap Aceh sebagai wilayah yang sulit ditaklukkan. Belanda pun terus mengirimkan pasukan ke Aceh untuk menaklukkan Tanah Rencong. Namun, di balik kekuatan pasukan Belanda yang besar, ada satu nama yang membuat mereka terjaga dalam ketakutan sekaligus penuh rasa hormat. Seorang perempuan, dengan semangat juang tak kenal lelah, yang tak hanya melawan penjajah, tetapi juga menginspirasi banyak orang dengan keberanian luar biasa.

Perempuan tersebut bernama Pocut Meurah Intan, sosok perempuan Aceh yang mempertaruhkan nyawa demi tanah airnya, dan berhasil membuat Belanda kagum sekaligus resah. Bagaimana seorang wanita bisa menggetarkan hati penjajah yang begitu kuat? Simak kisah penuh heroisme dan pengorbanan ini.

Pocut Meurah Intan pahlawan perempuan asal Aceh yang lahir pada tahun 1833 di Tuha Biheue, sebuah kawasan di Desa Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh. Pocut Meurah Intan bukan hanya dikenal karena keberaniannya, tetapi juga karena semangat juangnya yang tak kenal lelah, yang membuat Belanda resah sekaligus kagum. Dalam sejarah perjuangan Aceh, ia dikenal sebagai sosok yang berdiri teguh melawan kekuatan kolonial Belanda dengan segala keberanian dan kecerdikannya.

Pocut Meurah Intan adalah keturunan bangsawan dari Kesultanan Aceh. Ayahnya, Teuku Meureh Intan, seorang hulubalang dari Biheue yang berasal dari keturunan Pocut Bantan. Berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan tinggi, Pocut tumbuh dalam suasana yang sarat dengan nilai-nilai agamis dan patriotik. Sejak kecil, ia sudah ditempa dengan semangat untuk mempertahankan tanah kelahirannya.

Pocut menikah dengan Tuanku Abdul Majid, seorang pejuang gigih yang menjadi musuh utama Belanda di Selat Malaka. Suaminya disebut Belanda sebagai perompak laut atau zeerover karena selalu menggagalkan upaya Belanda untuk menguasai Aceh dan Selat Malaka. Sejak pernikahannya, Pocut Meurah Intan bersama suaminya berjuang untuk membebaskan Aceh dari belenggu penjajahan, semangat yang kemudian juga diwariskan kepada anak-anaknya.

Pocut Meurah Intan tidak hanya berperang di belakang layar, namun juga langsung terjun memimpin pasukan. Ia mengumpulkan pengikut setia, termasuk tiga putranya, yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad, dan Tuanku Nurdin, serta Pang Mahmud yang tak lain adalah tangan kanannya yang tangguh. Keberanian dan ketegasan Pocut dalam memimpin membuatnya dihormati oleh para pengikutnya, dan pada saat yang sama, membuat pemerintah Belanda semakin resah.

Dilansir Kompas.com, yang dikutip dari nationalgeographic.grid.id, pada tahun 1902, Belanda melakukan ekspedisi besar untuk menangkapnya. Sebuah patroli militer yang dipimpin Mayjen T.J. Veltman datang ke Biheue untuk mencari keberadaan Pocut. Namun, Pocut yang mengetahui kedatangan patroli tersebut tidak gentar. Dengan keberanian yang luar biasa, ia melawan pasukan Belanda seorang diri. Meskipun terluka parah, Pocut bertahan dan melawan hingga ia terjatuh dalam kondisi bersimbah darah.

Veltman, yang awalnya mengira Pocut Meurah Intan akan mati akibat lukanya, malah kagum dengan semangat juang wanita Aceh ini. Ia melarang pasukannya untuk membunuh Pocut yang saat itu tak berdaya. Meski mengalami luka-luka serius, Pocut berhasil bertahan hidup, bahkan sempat menyelamatkan diri meski harus menjalani perawatan atas amputasi otot tumitnya.

Veltman, yang terkesan dengan keberanian Pocut, mencoba menawarkan bantuan medis. Namun, Pocut menolak pertolongan dari dokter Belanda, namun akhirnya juga dirawat oleh tenaga medis pribumi. Tindakannya ini menunjukkan betapa tegasnya Pocut dalam prinsip dan keyakinannya. Tak hanya itu, komandan militer Belanda, Scheuer, pun merasa harus menemui Pocut untuk menyampaikan rasa hormatnya, meski di tengah konflik yang terus berkecamuk.

Pada tahun 1905, Pocut Meurah Intan ditangkap oleh Belanda bersama beberapa anggota keluarganya dan diasingkan ke Blora, Jawa Tengah. Selama pengasingan, kesehatan Pocut Meurah Intan semakin memburuk. Namun, meskipun hidup dalam kesulitan, semangat juangnya tetap tak padam. Selama bertahun-tahun, ia dirawat oleh keluarga RMN Dono Muhammad, seorang penghulu yang menjadi sahabat dekatnya.

Pocut Meurah Intan menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan, jauh dari tanah kelahirannya. Sebelum meninggal pada 19 September 1937, ia berwasiat untuk dimakamkan di Blora, bukan di Aceh. Wasiat ini dihormati oleh keluarganya, dan pejuang perempuan asal Aceh itu pun dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Temurejo, Blora.

Keberanian dan keteguhan Pocut Meurah Intan dalam melawan penjajahan Belanda tidak hanya menjadikannya sebagai pahlawan di tanah Aceh, tetapi juga sebagai inspirasi bagi banyak orang, baik perempuan maupun laki-laki, yang berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan. Meskipun telah tiada, nama Pocut Meurah Intan terus dikenang sebagai simbol perjuangan yang tiada tanding. Di Aceh, nama Pocut Meurah Intan diabadikan dalam bentuk Taman Hutan Raya (Tahura) di Seulawah, berada antara perbatasan Kabupaten Pidie dan Aceh Besar, sebagai penghormatan terhadap perjuangannya.

Dengan segala keberanian, keteguhan, dan prinsip yang dipegang teguh, Pocut Meurah Intan menjadi bukti nyata bahwa dalam sejarah perjuangan, perempuan Aceh tidak hanya duduk sebagai penonton, tetapi berperan aktif sebagai pejuang hingga menjadi pahlawan yang bahkan menginspirasi dunia.

  • Bagikan
Exit mobile version