MITRABERITA.NET | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mengambil langkah tegas dengan menggugat PT Medco E&P Malaka serta Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) ke pengadilan atas dugaan pencemaran udara yang berulang kali mencederai hak hidup sehat masyarakat.
Selain kedua pihak tersebut, gugatan juga menyasar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gubernur Aceh, serta Bupati Aceh Timur yang dianggap abai menjalankan kewajiban melindungi warga dari dampak eksploitasi migas.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menegaskan bahwa upaya dialog dan penyampaian aspirasi sudah berulang kali dilakukan, namun tidak membuahkan hasil.
“Proses dialog, diskusi, saran, hingga masukan sudah kami sampaikan kepada manajemen PT Medco E&P Malaka. Tidak ada respon yang baik, sementara keracunan warga terus berulang,” ujarnya dalam konferensi pers, pada Jumat 3 Oktober 2025.
Ketua Tim Pengacara WALHI Aceh, Zulfikar Muhammad, menyebutkan kasus pencemaran ini sudah terjadi sejak 2019. Tragedi besar pertama terjadi pada 9 April 2021, ketika sedikitnya 250 warga Gampong Panton Rayeuk T, Kecamatan Banda Alam, terpaksa mengungsi karena dugaan paparan gas beracun.
Insiden serupa kembali terulang pada 24 September 2023 dengan 35 orang dirawat di rumah sakit, termasuk lima anak-anak, dan lebih dari 500 warga mengungsi.
Belum genap dua tahun, 24 Agustus 2025, kasus kembali mencuat. Bau busuk dari kilang produksi memaksa lebih dari 200 warga meninggalkan rumah, dua di antaranya harus dirawat intensif, salah satunya muntah darah akibat paparan.
“Perusahaan tidak tertib dalam melakukan eksplorasi migas. Warga terus menjadi korban, tapi tidak ada perbaikan. Karena itu kami gugat,” tegas Zulfikar.
Selain Banda Alam, warga di Blang Nisam dan Alue Ie Mirah, Kecamatan Indra Makmu, juga mengaku kerap mencium bau menyengat dari Central Processing Plant (CPP) Medco. Kondisi ini mengganggu kesehatan, aktivitas harian, hingga membuat anak-anak trauma untuk bersekolah.
Ironisnya, meski warga sudah berulang kali melapor, keluhan justru diabaikan. WALHI menilai BPMA kerap bertindak seolah menjadi corong perusahaan, bukan pelindung masyarakat.
Rekomendasi dari berbagai lembaga, mulai dari Komnas HAM Aceh, DLHK Aceh, hingga lembaga independen lain, agar Medco memperbaiki tata kelola lingkungan tak pernah dijalankan. Akibatnya, pencemaran berulang, korban terus berjatuhan, dan negara terkesan tutup mata.
“Warga sudah terlalu lama menanggung penderitaan. Kini saatnya perusahaan dan pihak terkait bertanggung jawab di hadapan hukum,” tutup Ahmad Shalihin.
Penulis: Samsul Bahri | Editor: Redaksi