MITRABERITA.NET | “Kita di Aceh jangan lupa sejarah,” ujar Munawar Liza Zainal tegas, sambil menunjuk beberapa foto dokumentasi pribadi yang ia abadikan dua dekade silam, Jumat 20 Juni 2025.
Dokumentasi tersebut ia ambil pada tanggal 15 Agustus 2005, ketika masa-masa penting perundingan damai antara perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, Finlandia.
Sebagai salah satu anggota termuda dalam Tim Perunding GAM, Munawar menyimpan tidak hanya memori, tetapi juga warisan sejarah yang menurutnya kini mulai tergerus oleh narasi baru yang kerap melupakan siapa kawan dan siapa lawan dalam perjuangan panjang rakyat Aceh.
Dalam pernyataannya, Munawar mengisahkan kembali momen penuh makna di Smolna Building, gedung megah tempat Presiden Finlandia biasa menerima tamu negara.
Di sana, setelah penandatanganan MoU Helsinki, dihelat sebuah state banquet, jamuan resmi kenegaraan yang disiapkan Pemerintah Finlandia sebagai bentuk penghormatan terhadap tercapainya kesepakatan damai.
Jamuan itu hanya dihadiri empat orang dari masing-masing delegasi, sisanya adalah pejabat Uni Eropa dan Finlandia. Dari pihak GAM hadir Tengku Malik Mahmud, Dokter Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, dan Munawar Liza sendiri.
Sementara dari pihak delegasi Indonesia ada Hamid Awaluddin, yang saat ini tidak lagi mengenal Munawar Liza sebagai lawannya dalam perundingan di Helsinki, Sofyan Djalil, dan I Gusti Agung Wesaka Puja.
“Saya duduk bersebelahan dengan Ambassador Wesaka Puja. Kami bahkan masih sempat berbagi cerita nostalgia ketika saya bertemu dia di Belanda beberapa tahun setelah damai,” kata Munawar, sembari menunjukkan foto mereka berdua, diambil sejenak sebelum jamuan dimulai.
Lebih dari sekadar nostalgia, Munawar mengingatkan publik Aceh untuk tidak terjebak dalam distorsi sejarah. Menurutnya, saat ini ada kecenderungan sebagian pihak yang dahulu berada di seberang meja perundingan.
Mereka merupakan wakil dari pemerintah pusat, yang berusaha menampilkan diri sebagai pahlawan Perdamaian Aceh, sementara kontribusi nyata para perunding dari Aceh mulai dilupakan.
“Perunding dari sebelah ingin jadi pahlawan, padahal mereka musuh Aceh di meja runding. Sejarah tidak boleh dipelintir. Rakyat Aceh berhak tahu siapa yang berjuang untuk mereka,” tegasnya.
Munawar Liza juga menunjukkan foto-foto lain, salah satunya memperlihatkan Hamid Awaluddin tengah berbicara dengan M. Nur Djuli, William Nessen, dan Damien Kingsbury di ruang jamuan.
Nama-nama ini, termasuk Shadia Marhaban, Irwandi Yusuf, dan Teuku Hadi, adalah bagian dari Tim Perunding GAM yang turut membawa Aceh menuju perdamaian yang bermartabat.
Menurutnya, foto-foto tersebut bukan sekadar dokumentasi, tapi sebagai pengingat bahwa damai yang antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia yang dinikmati hari ini dibangun lewat perjuangan yang panjang.
“Perundingan damai itu tidak mudah, di sana ada negosiasi yang sulit, dan pengorbanan yang besar. Jangan sampai Aceh kehilangan arah karena melupakan asal-usulnya,” kata Munawar Liza mengingatkan.
Penulis: Hidayat | Editor: Redaksi