Mahkamah Konstitusi Tangguhkan Paetongtarn Shinawatra dari Jabatannya

Paetongtarn Shinawatra. Foto: Foto: Lillian Suwanrumpha / AFP

MITRABERITA.NET | Krisis politik kembali mengguncang Thailand setelah Mahkamah Konstitusi secara resmi menangguhkan Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya sebagai Perdana Menteri.

Keputusan ini diambil menyusul dugaan pelanggaran etika berat yang dilaporkan oleh 36 anggota senat Thailand, berdasarkan rekaman pembicaraan pribadi antara Paetongtarn dan Presiden Senat Kamboja, Hun Sen.

Dalam sidang pada Senin 1 Juli 2025, sembilan hakim konstitusi secara bulat menerima pengajuan perkara tersebut untuk diproses lebih lanjut. Tujuh di antaranya sepakat menonaktifkan sementara Paetongtarn dari tugas-tugasnya sebagai kepala pemerintahan, berlaku sejak hari itu hingga keputusan akhir dikeluarkan.

“Mahkamah memberi waktu 15 hari kepada Paetongtarn untuk menyampaikan pembelaan resmi,” demikian isi pernyataan resmi lembaga tersebut.

Selama masa penangguhan, Wakil Perdana Menteri Suriya Juangroongruangkit akan menjabat sebagai perdana menteri sementara. Laporan para senator menyebut percakapan dalam rekaman yang bocor ke publik sebagai bukti utama.

Dalam rekaman tersebut, Paetongtarn terdengar berbicara dengan nada akrab kepada Hun Sen, menyebutnya “paman” dan berjanji akan “mengurus segala hal yang diinginkan” guna menyelesaikan konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja.

Pernyataan itu disampaikan menyusul insiden pada akhir Mei lalu, di mana seorang prajurit Kamboja tewas dalam baku tembak dengan pasukan Thailand di wilayah perbatasan yang disengketakan.

Kontroversi semakin memanas setelah Paetongtarn kedapatan merendahkan Letnan Jenderal Boonsin Padklang, pejabat tinggi militer yang bertanggung jawab di kawasan tersebut.

Hal ini dianggap sensitif, mengingat dominasi dan pengaruh militer dalam politik Thailand, serta riwayat ketegangan antara militer dan keluarga Shinawatra.

Greg Raymond, pengamat dari Australian National University, menilai ia menggunakan bahasa yang cukup hormat dan terkesan akrab dengan Hun Sen dengan memanggilnya paman.

“Itu sangat tidak profesional dan tidak bijak, tapi tidak mengejutkan mengingat Paetongtarn belum memiliki pengalaman politik untuk menjadi perdana menteri,” ujarnya seperti dilansir ABC, Selasa 1 Juli 2025.

Kebocoran rekaman itu memicu krisis politik yang cepat membesar. Ribuan demonstran memadati Monumen Kemenangan di Bangkok pada Sabtu 28 Juli 2025, menuntut pengunduran diri Paetongtarn. Ini menjadi aksi massa terbesar sejak Partai Pheu Thai kembali berkuasa pada 2023.

Meskipun telah menyampaikan permintaan maaf, tekanan terhadap pemerintahan Paetongtarn semakin meningkat setelah Partai Bhumjaithai, mitra koalisi terbesar kedua, menarik dukungan.

Sementara itu, Paetongtarn membela diri dengan menyatakan bahwa tindakannya semata-mata untuk meredakan ketegangan dan mencegah konflik lebih besar.

“Jika Anda mendengarkannya dengan seksama, Anda akan mengerti bahwa saya tidak memiliki niat buruk. Inilah yang akan saya fokuskan dan jelaskan secara mendalam,” katanya, Selasa 1 Juli 2025, seperti dikutip dari BBC.

Paetongtarn Shinawatra resmi menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand ke-31 pada Agustus 2024 menggantikan Srettha Thavisin, setelah memperoleh dukungan mayoritas parlemen. Ia menjadi PM perempuan kedua dan termuda dalam sejarah Thailand.

Sebagai putri bungsu dari mantan PM Thaksin Shinawatra, Paetongtarn membawa kembali dinasti politik Shinawatra ke tampuk kekuasaan.  Namun, kepemimpinannya kini berada di ujung tanduk hanya sepuluh bulan setelah dilantik.

Situasi ini menambah babak baru dalam dinamika politik Thailand yang selama dua dekade terakhir terus diwarnai oleh pergantian kekuasaan, kudeta militer, serta tarik ulur antara elite politik dan kekuatan konservatif.

Sumber: Tirto.id | Editor: Tim Redaksi