PERISTIWA

Komentari Polemik Empat Pulau, KPA Luwa Nanggroe: Rakyat Aceh Tidak Tunduk pada Ketidakadilan

×

Komentari Polemik Empat Pulau, KPA Luwa Nanggroe: Rakyat Aceh Tidak Tunduk pada Ketidakadilan

Sebarkan artikel ini
Ketua KPA Luwa Nanggroe, Abu Salam. Foto: Dok. KPA Luwa Nanggroe

MITRABERITA.NET | Keputusan pemerintah pusat menyerahkan empat pulau milik Aceh ke Sumatera Utara memantik reaksi keras dari Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan hak kedaulatan rakyat Aceh.

Ketua KPA Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi alias Abu Salam, dalam pernyataan resminya pada Selasa malam 10 Juni 2025, mengecam keras keputusan Kemendagri yang ia sebut sebagai “administratif terburu-buru, tanpa legitimasi historis, dan cacat substansi.”

“Empat pulau itu bukan sekadar gugusan tanah tak bernama. Itu bagian dari sejarah, identitas, dan teritorial Aceh sejak era Hindia Belanda. Kami punya peta kolonial, arsip kesultanan, dan catatan pengelolaan administratif. Jangan remehkan memori kolektif rakyat Aceh,” ujar Abu Salam.

Abu Salam juga menyoroti langkah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang secara mendadak datang ke Banda Aceh, di saat Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) tengah menjalani agenda resmi ke Aceh Barat Daya.

“Kunjungan itu terasa seperti manuver simbolik yang ingin membentuk persepsi publik bahwa Aceh setuju dengan keputusan pusat. Padahal ini bukan panggung drama. Ini soal konstitusi, kedaulatan, dan martabat daerah,” jelas Abu Salam.

Mualem sendiri tetap menerima kunjungan Bobby secara resmi di Pendopo Gubernur, namun pertemuan dilanjutkan oleh jajarannya karena agenda kerja yang telah dijadwalkan sebelumnya.

“Itu bentuk penghormatan yang cukup. Tapi jangan salah tafsirkan sebagai persetujuan. Kalau tujuannya membangun opini publik bahwa Aceh tunduk, itu keliru besar,” tambah Abu Salam.

Di luar persoalan pulau, Abu Salam juga mengangkat isu lama yang mulai dilupakan publik: rencana pembangunan empat batalyon militer baru di Aceh. Ia menyebutnya sebagai potensi ancaman terhadap perdamaian yang selama ini dijaga pasca MoU Helsinki.

“Aceh tidak sedang dalam keadaan perang. Untuk apa empat batalyon baru? Jangan sampai ini menjadi upaya sistematis menjadikan Aceh sebagai provinsi yang dikontrol lewat militerisme. Kami menolak segala bentuk intimidasi terselubung,” katanya.

Di samping itu, pihaknya mengaku tengah menyiapkan sejumlah langkah strategis dan tegas. Pihaknya akan melawan keputusan tersebut, karena dinilai telah memicu api konflik yang dapat menghadirkan ketidakstabilan politik dan keamanan.

“Ini bukan soal siapa kuat dan siapa lemah. Ini soal siapa yang benar. Dan rakyat Aceh tidak akan tunduk pada ketidakadilan, sebesar atau serapi apapun kemasannya,” tegas Abu Salam.

Sebelumnya, menteri dalam negeri Muhammad Tito Karnavian mendukung upaya Gubernur Sumatera Utara yang berharap empat pulau out dikelola bersama.

Tito juga menegaskan jika pun Kemendagri mengeluarkan surat keputusan yang baru, maka akan sama dengan keputusan sebelumnya. Ia bahkan menyarankan Pemerintah Aceh melakukan gugatan ke PTUN.

“Kita terbuka juga untuk mendapatkan evaluasi, atau mungkin, kalau ada yang mau digugat secara hukum, ke PTUN misalnya, kita juga tidak keberatan. Kita juga tidak ada kepentingan personal, selain menyelesaikan batas wilayah,” katanya, di Kompleks Istana Negara, Selasa 10 Juni 2025, seperti dilansir dari Kompas.com.

Editor: Redaksi

Media Online