Dua Raksasa Bersaing Kuasai Ekonomi Dunia, Perang Dagang AS vs China Memanas

Ilustrasi persaingan dagang AS vs China. (Nikkei montage/Source photo by AP)

MITRABERITA.NET | Dunia kembali diguncang. Dua raksasa ekonomi terbesar, Amerika Serikat dan China, terlibat dalam babak baru perang dagang yang semakin brutal.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Washington dan Beijing saling serang dengan tarif impor yang mencekik, memunculkan kekhawatiran akan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan terganggunya rantai pasok global.

Ketegangan ini mengingatkan dunia pada Perang Dagang Jilid I, namun kali ini eskalasinya jauh lebih tinggi.

Dimulai dari keputusan Presiden Donald Trump untuk menerapkan tarif timbal balik (reciprocal tariff) terhadap China sebesar 34%, langkah itu langsung dibalas Beijing dengan mengenakan tarif yang sama untuk seluruh produk asal Amerika.

Tak tinggal diam, Trump meningkatkan tarif menjadi 104%. China merespons keras dengan tarif balasan sebesar 84%.

Drama ini belum berakhir, baru-baru ini Trump mengumumkan kenaikan tarif lebih tinggi lagi, mencapai 125%, sambil menunda pengenaan tarif untuk negara-negara non-China selama 90 hari ke depan.

“Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada Pasar Dunia, dengan ini saya menaikkan tarif menjadi 125%, berlaku segera,” kata Trump dalam pernyataan kerasnya di Gedung Putih.

Dua negara ini, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia —AS sekitar US$30,34 triliun dan China US$19,53 triliun— kini memperebutkan supremasi global.

Selama puluhan tahun, AS menjadi penguasa perekonomian dunia, terutama pasca-Perang Dingin yang diproklamasikan sebagai “akhir sejarah” oleh Francis Fukuyama. Namun, sejak reformasi ekonomi era Deng Xiaoping, China perlahan tapi pasti, mengikis dominasi tersebut.

Program liberalisasi ekonomi China melahirkan “keajaiban Shenzhen”, mengubah kota nelayan menjadi pusat teknologi dunia. Ambisi China terus membesar lewat inisiatif One Belt One Road (OBOR), memperluas jejaring dagang dan investasi hingga ke pelosok Afrika, Asia, bahkan Eropa.

Kini, fakta-fakta berbicara bahwa volume perdagangan China pada 2024 menembus US$6,16 triliun, jauh mengungguli AS yang hanya mencapai US$5,3 triliun.

China menikmati surplus neraca perdagangan hampir US$1 triliun, sementara AS mencatat defisit lebih dari US$1,2 triliun —salah satu defisit terbesar sepanjang sejarah.

Dominasi ekspor produk elektronik, kendaraan listrik, dan teknologi berbasis AI buatan China kian menekan industri Amerika, membuat tekanan politik terhadap Trump meningkat.

Namun, alih-alih melunak, Trump memilih menyerang lebih keras, meski laporan dari OECD dan Asian Development Bank sudah memperingatkan bahwa perang tarif akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global.

Di balik tindakan agresif ini, banyak pihak menilai motif politik lebih besar ketimbang motif ekonomi. Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, bahkan menyindir kebijakan Trump yang “tidak memiliki dasar ekonomi yang rasional.”

Sinyal politik ini makin kentara ketika Trump secara terbuka menyatakan sedang “menunggu panggilan” dari China untuk memulai negosiasi, memperlihatkan bahwa perang tarif mungkin hanyalah bagian dari strategi tekanannya terhadap Beijing.

China Tidak Akan Mundur

Sementara itu, Beijing menunjukkan tekad baja. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menegaskan bahwa China tidak akan tunduk pada tekanan atau intimidasi AS.

“Jika Amerika ingin berdialog, maka harus berdasarkan prinsip kesetaraan dan saling menghormati. Jika tidak, China akan terus melawan hingga akhir,” tegas Lin Jian.

Dengan ketegangan yang terus meningkat, dunia kini menahan napas. Siapa yang akan memenangkan pertarungan ini? Akankah pasar global mampu bertahan menghadapi gelombang baru ketidakpastian? Atau justru dunia akan menyaksikan lahirnya tatanan ekonomi global baru dari reruntuhan perang tarif ini?

Satu hal yang pasti, persaingan dua raksasa ini akan menentukan arah masa depan dunia.