POLITIK uang pada esensinya digunakan untuk mempengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini keputusan dalam berpolitik individu maupun sekelompok masyarakat. Dengan adanya politik uang, maka keputusan yang dihasilkan tidaklah berdasarkan kondisi real dengan pertimbangan baik dan buruknya hasil keputusan yang diambil. Keputusan yang diambil berdasarkan kenyamanan atas pemberian uang yang dilakukan dan ditakutkan dapat memberikan efek negatif jangka panjang.
Berdasarkan catatan dari pusat anti korupsi 2023, setiap kali mendekati pemilu para calon kepala daerah maupun legislatif mengumbar janji manis kepada masyarakat dengan bingkisan berupa uang maupun sembako. Hal ini mengindikasikan bahwa para calon kepala daerah maupun legislatif yang menggunakan politik uang secara sadar telah melakukan praktik politik uang (korupsi). Hal ini tergolong dalam bentuk suap.
Praktek ini akhirnya mendorong terbentuknya pemimpin yang nantinya hanya akan mempedulikan pribadi maupun golongan, bukan hanya dirinya sendiri. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salahsatunya untuk mengembalikan modal yang keluar dari kampanye.
Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, mengatakan politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis. Guna menghindari maraknya politik uang perlu peningkatan pengawasan partisipatif.
Pengawasan partisipatif tertuang dalam peraturan UU/7/2017 tentang pemilu. Pasal 448 ayat (3) menyatakan: bahwa bentuk partisipatif masyarakat diantaranya meningkatkan partisipatif politik dan mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi kondisi pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.
Suasana kondusif pemilu dimaksud salahsatunya pembentukan desa demokrasi partisipatif politik, terutama politik uang. Modus politik uang yang biasa ditemukan dengan istilah serangan fajar, sarapan pagi (dhuha) dan penjemputan ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Oleh sebab itu, perlu didesain desa demokrasi partisipatif “Model Desa Anti Politik Uang,” dalam pemilu dengan pelibatan dan pemanfaatan secara maksimal modal sosial dalam masyarakat untuk membentuk startegi mencegah politik uang.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi acuan sehingga model desa ini dapat dibangun secara bertahap dan berkesinambungan untuk mewujudkan pesta demokrasi yang bersih dari praktik politik uang. Kekuatan jumlah pemilih merupakan faktor awal dari pembangunan model desa yang dimaksud, jumlah pemilih yang lebih sedikit memungkinkan tindakan politik uang dapat dihindari.
Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, public policy.
Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti, memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan mengadakan pendekatan atau hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Kuantitas pemilih yang lebih sedikit akan mempermudah pengawasan politik uang dilakukan.
Faktor kedua merupakan multikultur atau latar belakang budaya yang beragam dalam kelompok masyarakat. Pada dasarnya Indonesia merupakan bangsa yang beragam suku. Keragamannya dapat terlihat dari banyaknya pulau, ras, warna kulit, budaya dan etnis, agama serta bahasa. Islam sendiri merupakan agama yang sangat menghargai perbedaan dan mengajarkan hubungan yang baik antar sesama manusia.
Dalam kehidupan masyarakat Islam nilai-nilai multikultural dapat berkembang secara dinamis. Nilai multikultural yang ada dalam kehidupan bukanlah suatu hal yang tiba-tiba ada, namun nilai multikultural yang ‘diperjuangkan’ oleh aktor yang ada dalam masyarakat madani yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam konsep masyarakat multikultural budaya masyarakat mendapat perhatian dan apresiasi tersendiri. Budaya sebagai instrument utama dalam masyarakat dalam kehidupan tetap dipelihara dan mendapatkan tempat yang istimewa. Sebagaimana dinyatakan oleh Blum, bahwa multikulturalisme merupakan sebuah penilaian terhadap budaya budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri. Masyarakat multikultur mendorong terbentuknya kehidupan yang harmonis dari kelompok yang majemuk.
Kecenderungan masyarakat yang multikultur terlihat dari cara hidup berdampingan yang lebih tinggi dan saling bersimbiosis positif satu sama lain. Secara teoritis multikultural suatu kondisi wilayah tertentu mengandung nilai-nilai yang jika diterapkan kebijakan politik pada masyarakatnya atau secara kultural dilaksanakan oleh segenap warga di tataran akar rumput, maka akan cukup efektif untuk mewujudkan tatanan sosial yang mapan dan mampu meminimalisir hadirnya konflik.
Kondisi intensitas konflik merupakan faktor yang muncul akibat beragamnya kultur yang ada. Budaya yang berbeda akan menjadikan suatu kelompok masyarakat suatu desa menjadi saling bekerjasama dan memiliki jiwa bergotong royong yang tinggi dalam membangun desa tempat tinggalnya. Partisipasi masyarakat dalam kultur yang berbeda diidentifikasi dari cara menyelesaikan permasalahan dan pengambilan keputusan, salah satu diantaranya keputusan dan pembentukan sikap dalam menolak politik uang dalam pemilihan umum.
Faktor berikutnya merupakan kegiatan perekomian masyarakat yang dapat diukur dalam indeks ekonomi desa. Peningkatan indeks ekonomi desa dapat dilakukan dengan menciptakan produk unggulan dari masyarakat yang dapat dipasarkan secara luas, sehingga desa memiliki kemandirian secara ekonomi. Kemandirian ekonomi pada kelompok masyarakat ditandai dengan kemampuan dalam berpikir, kemampuan dalam mengambil keputusan, serta kemampuan dalam memecahkan masalah dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki termasuk dalam mengidentifikasi masalah-masalah politik.
Faktor terakhir merupakan faktor yang juga sangat menentukan terbentuknya pengawasan partisipatif dalam menghadapi pemilu ke depan. Faktor gender dengan melibatkan perempuan secara aktif akan dapat menekan terjadinya politik uang dalam area yang lebih besar. Kondisi Indonesia yang dimana jumlah perempuan lebih dari 60 persen, dapat menjadi penentu dan berdampak besar terhadap pesta demokrasi yang sebentar lagi akan digelar dan tentunya juga terhadap perkembangan daerah maupun negara. Pengawasan partisipatif dalam lingkup yang terkecil di lingkungan rumah seyogyanya dapat dilakukan oleh perempuan. Perempuan juga dapat memberikan pemahaman, penolakan tegas terhadap maraknya politik uang.
Sebagai penutup, marilah sama-sama kita kawal Pilkada serentak 2024 kali ini untuk bebas dari maraknya politik uang. Meskipun kedengarannya sulit, apalagi sudah menjadi budaya di masyarakat, setidaknya dimulai dari diri sendiri. Semoga dengan minimnya praktek politik uang dapat melahirkan Pemimpin yang bersih, jujur, bijaksana, dan peduli dengan masyarakat.
Penulis: Mismaruddin Sofyan (Wakil Ketua PW Syarikat Islam Wilayah Aceh dan Bappillu Partai Bulan Bintang Wilayah Aceh)