Instalasi Terpadu Kuta Malaka, Tempat yang Mencintai Tanpa Syarat

Instalasi Terpadu Kuta Malaka. Foto: Biro Adpim Setda Aceh

MITRABETITA.NET | Di balik dinding-dinding tenang Instalasi Rehabilitasi Terpadu Kuta Malaka, gema puisi seorang penyintas jiwa menyentuh langit Aceh Besar, pada hari Rabu 16 April 2025.

Bukan sekadar peresmian fasilitas baru, hari itu adalah kelahiran harapan –bahwa tak ada luka yang terlalu dalam untuk dipulihkan, dan tak ada jiwa yang terlalu jauh untuk disayangi.

Adalah Yatim, seorang pasien, atau “Polem”, begitu mereka disebut, yang mengguncang hati para tamu lewat pertunjukan musikalisasi puisi. Ia berdiri di depan para pejabat, mengisahkan tentang ibunya –satu-satunya orang yang percaya bahwa dirinya masih bisa sembuh.

Sang ibu telah pergi, dan di tengah puing emosi yang tak tertampung, Yatim merintih, “Aku masih butuh ibu di sisiku. Kini tidak ada seorang pun yang mengharapkan kehadiranku, sungguh tidak ada, Ibu…”

Tak satu pun tepuk tangan terdengar. Yang ada hanya keheningan. Sebagian tertunduk, sebagian menahan haru. Musik sedih Poma karya Teungku Dibalee mengalun, menyejukkan tapi menyayat.

Hari itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf melalui Plt Sekda Aceh Muhammad Nasir, meresmikan sebuah bangunan, rumah Instalasi Rehabilitasi Terpadu Kuta Malaka, milik Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh.

Instalasi Terpadu Kuta Malaka adalah sebuah rumah yang tidak menghakimi mereka yang disebut ‘tidak waras’, melainkan memanusiakan mereka dengan sepenuh jiwa.

“Pemerintah Aceh memandang bahwa masa pasca-rawat bagi ODGJ adalah fase paling krusial. Tempat ini adalah komitmen kami untuk merawat, memulihkan, dan memerdekakan mereka dari stigma,” ujar M. Nasir.

Di atas lahan seluas 26 hektar, bangunan ini berdiri bukan sebagai rumah sakit biasa. Di sini, para pasien yang telah sembuh secara klinis diajarkan berkebun, beternak, bahkan berdagang kecil-kecilan.

Sayuran yang mereka tanam mereka jual sendiri. Uangnya mereka pakai untuk beli baju, minum kopi, atau sekadar menikmati hidup. Sesuatu yang selama ini tak pernah mereka bayangkan sebagai hak mereka.

Direktur RSJ Aceh, dr. Hanif, menyebut ini sebagai rehabilitasi dengan cinta dan pemberdayaan. Ia sadar, banyak dari mereka yang telah sembuh namun ditolak oleh keluarga.

“Kadang orang tua mereka sudah meninggal, dan tidak ada siapa pun yang mau menjemput. Kami merasa, kalau bukan kami, siapa lagi?”

Tak hanya ODGJ, ke depan tempat ini juga akan menjadi pusat rehabilitasi bagi para korban Napza. Sejumlah instansi pun ikut mendukung, dari penyediaan traktor, bibit, hingga lampu penerangan.

Kuta Malaka pelan-pelan menjelma menjadi komunitas kecil yang mandiri –sebuah oasis tenang bagi mereka yang sering dianggap aib.

Data RSJ Aceh mencatat, lebih dari 22 ribu kasus gangguan jiwa tercatat di Aceh, dan lebih dari 50 persen tergolong berat. Maka tempat seperti Kuta Malaka bukan sekadar penting, ia adalah nadi terakhir dari harapan yang sering dilupakan.

“Tolong bantu para Polem ini. Jangan lagi ada pasung. Jangan lagi ada yang dikucilkan. Tempat ini akan jadi bukti bahwa mereka juga manusia,” harap dr. Hanif.

Pada akhirnya, di tengah senyapnya malam dan kesegaran udara perbukitan Kuta Malaka, kita diingatkan akan satu hal, bahwa tak ada jiwa yang terlalu rusak untuk dicintai. Dan di tempat ini, cinta itu tak pernah diminta untuk dibalas. Ia hadir, hanya karena mereka juga manusia.