DUNIA maya di Aceh akhir-akhir ini seperti warkop yang ramai pas jam ngopi sore: semua orang ingin bersuara, tapi tak semua tahu topik yang sebenarnya.
Ada dua isu dan perkara besar yang sedang viral di Tanah Serambi Mekkah, dan entah kenapa —di ujungnya, lagi-lagi— kaum laki-laki juga yang kena getahnya.
Isu pertama: Seorang pria menceraikan istrinya tepat sebelum dilantik jadi PPPK. Warganet langsung ramai.
Para wanita di seluruh Nusantara bersatu padu seperti pasukan Avengers, hanya saja tanpa Hulk —karena Hulk pun takut kalau disalahpahami wanita.
“Dasar lelaki kejam!” “Tidak tahu diri!” “Sudah dibantu istri, malah ditinggal!”
Semua komentar keluar secepat notifikasi Shopee di tanggal 11. Tak ada yang tahu kronologi sebenarnya, tapi netizen perempuan langsung sepakat: si suami bersalah, dan tidak perlu sidang, cukup “divonis” lewat komentar.
Kalau ditanya: kenapa langsung percaya? Jawabannya sederhana —karena perempuan itu tidak butuh bukti, cukup intuisi. Dan celakanya, intuisi mereka jarang salah… meski kadang juga tidak benar.
Lalu muncul kasus kedua, lebih segar dari kopi Ulee Kareng: Seorang wanita pendatang di Aceh merasa rencananya membuat acara hura-hura digagalkan oleh sekelompok masyarakat.
Wanita itu pun kesal —katanya, kelompok yang menolak itu adalah orang-orang yang “sok suci”.
“Bukan pembela syariat, tapi pembela syahwat pribadi,” ujarnya lantang, mungkin sambil mengetik dengan jari yang penuh emosi tapi bibir tetap sipit menahan senyum puas.
Masalahnya, di Aceh, “syariat” bukan sekadar topik seminar. Ia hidup, diatur, dan dijaga. Jadi ketika ada yang datang dengan konsep “berbeda”, ya jelas ada benturan.
Tapi si wanita tampaknya menganggap dirinya pahlawan pembebasan ekspresi untuk rakyat Aceh yang mungkin dianggap masih “marginal” dan tak paham Islam.
Kalau dua kisah ini dijadikan pelajaran, maka ada satu kesimpulan universal yang bisa kita pahami bersama: “Jangan pernah berdebat dengan wanita!”
Bukan karena wanita tidak bisa diajak berdiskusi, tapi karena pria tidak dibekali kemampuan bertahan dalam logika non-linear.
Ketika pria bilang, “Aku tidak salah,” wanita akan menjawab, “Tapi cara kamu tidak salah itu salah!”
Dan ketika pria menjawab, “Aku cuma bercanda,” wanita akan berkata, “Tapi aku tidak tertawa.”
Laki-laki bisa menang dalam pertandingan sepak bola, tinju, catur, atau panjat pinang. Tapi dalam perdebatan dengan wanita? Kemenangan hanyalah ilusi sementara sebelum babak revisi dimulai.
Sebab, dalam kamus wanita, “kalah” itu tidak ada. Yang ada cuma: “Nanti kamu juga paham sendiri.” Dan itu, saudara-saudara, adalah kalimat paling menakutkan di dunia.
Kesimpulan:
Jika suatu hari kamu merasa menang dalam debat dengan wanita, jangan senang dulu. Karena itu bukan akhir cerita —itu cuma jeda iklan sebelum “season dua” dimulai.
Dan saat itu tiba, kamu akan sadar… bahkan kiamat pun belum cukup panjang untuk menunggu akhir perdebatan itu.
Ditulis oleh: Hidayat (Wartawan Media MITRABERITA.NET)










