Aceh bukan hanya dikenal dengan sejarah dan budayanya yang kaya, tetapi juga karena adat pernikahannya yang sakral dan penuh makna. Salah satu elemen paling penting dalam proses tersebut adalah Mahar, sebuah simbol penghargaan dan keseriusan dari pihak laki-laki terhadap perempuan yang ingin ia nikahi. Namun, di balik keindahan adat itu, muncul persoalan pelik yang kini jadi perbincangan hangat: Harga Emas yang melonjak tinggi.
Hari ini, Harga Emas di Aceh telah menembus angka lebih dari Rp 6 juta per mayam. Dalam lima tahun terakhir, lonjakan ini melebihi 100 persen. Jika sebelumnya sepuluh mayam mungkin terasa berat namun masih bisa dijangkau oleh laki-laki kelas menengah, maka kini, jumlah tersebut bisa berarti lebih dari Rp 60 juta hanya untuk mahar –belum termasuk biaya pesta, mas kawin tambahan, dan biaya hidup setelah menikah.
Uniknya, kondisi ini tidak serta-merta menurunkan standar mahar. Di banyak daerah di Aceh, mahar sepuluh mayam masih dianggap “wajar”. Bahkan, bagi sebagian keluarga, terutama yang memiliki anak perempuan lulusan sarjana, bekerja di instansi pemerintah, atau memiliki jabatan strategis, angka tersebut dianggap minimal.
Perempuan Aceh memegang pandangan kuat bahwa mereka adalah perhiasan terbaik dunia, mereka menjaga diri, belajar, merawat martabat, dan membawa nama baik keluarga. Maka, mahar yang tinggi dianggap setimpal dengan usaha itu semua.
Sebagian besar perempuan Aceh tidak menganggap diri mereka materialistis. Mereka tidak menakar cinta dengan nilai uang. Namun, mahar bukan semata-mata soal uang; ia adalah bentuk penghormatan dan pengakuan. Ini soal harga diri, bukan harga jual. Perasaan Perempuan Aceh tumbuh dengan keyakinan bahwa mahar adalah hak yang suci, simbol bahwa perjuangan menjaga diri selama ini tidak sia-sia.
Namun, di sisi lain, kita juga tak bisa menutup mata terhadap posisi laki-laki dalam pernikahan Aceh. Laki-laki Aceh punya ego dan harga diri yang tidak bisa disepelekan. Bagi mereka, perjuangan mengumpulkan mahar adalah bentuk pembuktian.
Mereka ingin datang ke rumah calon istri dengan kepala tegak, menunjukkan bahwa mereka layak menjadi pemimpin keluarga. Tidak sedikit yang bekerja keras bertahun-tahun, merantau jauh, atau bahkan meminjam uang demi memenuhi tuntutan mahar.
Tetapi kenyataannya, tidak semua laki-laki mampu mengikuti lonjakan Harga Emas Hari Ini. Di tengah kondisi ekonomi Aceh yang lesu, lapangan kerja yang terbatas, dan pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan harga, banyak laki-laki terpaksa menunda pernikahan.
Bahkan, ada yang memilih untuk tidak menikah sama sekali karena merasa tidak sanggup mengejar standar mahar yang makin tinggi. Akibatnya, usia menikah semakin mundur, sementara potensi masalah sosial seperti pergaulan bebas atau hubungan tanpa ikatan resmi mulai menghantui generasi muda.
Maka, pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan ini akan terus terjadi? Apakah budaya mahar tinggi harus dipertahankan meski mengorbankan generasi muda yang ingin menikah secara sah dan bermartabat?
Mungkin, sudah saatnya kita sebagai masyarakat Aceh mulai berdiskusi lebih terbuka. Kita butuh keberanian kolektif untuk meninjau ulang standar mahar, tanpa mengurangi nilai dan sakralitas pernikahan.
Pemerintah daerah, Majelis Adat Aceh, dan para ulama bisa turun tangan dengan membuat kebijakan atau himbauan yang bijak. Misalnya, menetapkan batas maksimal mahar, katakanlah 7 mayam, sebagai bentuk keseimbangan antara nilai budaya dan realitas ekonomi hari ini.
Tentu, ini bukan aturan kaku. Jika ada keluarga yang mampu dan rela memberikan lebih, selama tidak ada paksaan, itu adalah hak mereka. Namun bagi sebagian besar masyarakat, adanya batas wajar bisa menjadi angin segar, memberikan harapan dan ruang bagi generasi muda untuk segera membangun rumah tangga tanpa harus terjerat beban finansial berlebih.
Karena pernikahan bukan soal seberapa mahal mahar yang diberikan, tapi seberapa besar komitmen dan cinta yang dibangun setelah ijab kabul diucapkan. Harga emas boleh naik, tapi jangan sampai hati dan harapan anak-anak muda Aceh justru jatuh, terhalang gengsi, adat yang tak fleksibel, dan ekspektasi yang kian melambung.
Sudah saatnya kita meletakkan harga diri di atas harga emas, dan menjadikan pernikahan sebagai jalan ibadah, bukan ladang pamer.
Ditulis oleh: Hidayat (wartawan Media MITRABERITA.NET, Sarjana Filsafat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh)