MITRABERITA.NET | Usulan untuk merampingkan mata uang rupiah (redenominasi) dari Rp1.000 menjadi Rp1 yang diajukan Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak, seorang advokat, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
MK secara tegas menolak uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang tersebut, meskipun Zico, menginginkan adanya redenominasi sebagai bagian dari reformasi sistem keuangan nasional.
“Mengadili: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” demikian putusan MK sebagaimana tertulis dalam salinan putusan yang diakses melalui situs resmi MK, dikutip Jumat 18 Juli 2025.
Sebelumnya, Zico mengajukan redenominasi karena menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU 7/2011 bertentangan dengan hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Menurutnya, aturan tersebut tidak mengakomodasi langkah redenominasi secara eksplisit, yang berujung pada ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Pemohon menyampaikan beberapa negara seperti Rumania dan Turki telah membuktikan keberhasilan redenominasi.
Rumania, misalnya, mampu menekan inflasi menjadi satu digit dan memperkuat mata uangnya, Lei. Turki pun berhasil menjaga stabilitas ekonomi setelah memangkas enam angka nol dari lira.
Ia juga merujuk teori makroekonomi Stanley Fischer yang menyatakan bahwa pengurangan digit pada mata uang nasional dapat memperjelas transaksi keuangan dan mengurangi beban teknis bank sentral.
Hal itu memungkinkan Bank Indonesia lebih fokus pada pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Namun, Mahkamah Konstitusi menegaskan kebijakan redenominasi bukanlah persoalan konstitusional, melainkan masuk dalam ranah kebijakan moneter yang sepenuhnya merupakan domain pembuat undang-undang.
“Dalam konteks ini, keberlakuan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU 7/2011 yang hanya mengatur kewajiban pencantuman pecahan nominal dalam angka dan huruf, tidak dapat semata-mata ditafsirkan sebagai penghalang atau penyebab langsung belum dilaksanakannya redenominasi.”
MK juga menegaskan bahwa pengubahan nilai nominal rupiah harus diatur secara eksplisit dalam undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (5) UU Mata Uang.
Artinya, pemerintah dan DPR memiliki wewenang penuh untuk menentukan waktu dan kondisi yang tepat untuk menerapkan redenominasi.
“Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” demikian pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah menyimpulkan bahwa norma yang diuji tidak melanggar prinsip kesejahteraan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Permohonan pun resmi ditolak seluruhnya.
Penolakan ini sekaligus menegaskan keinginan melakukan redenominasi, meski memiliki dasar empirik dan teoritik yang kuat, harus melalui proses legislasi dan kebijakan makroekonomi yang matang, bukan sekadar melalui uji materi konstitusional.
Editor: Tim Redaksi