Indeks

10 Rekomendasi Akademisi untuk Mendorong Pembangunan Aceh

  • Bagikan
Akademisi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Dr Amri. Foto: dokumen pribadi

MitraBerita | Aceh, provinsi yang kaya akan potensi alam dan budaya, masih dihadapkan pada tantangan besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Menggali berbagai perspektif dari seorang pengamat ekonomi dan Bisnis yang juga dosen di Universitas Syiah Kuala, Dr. Amri, telah mengemukakan sepuluh rekomendasi strategis yang diharapkan dapat membawa Aceh menuju arah pembangunan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Dengan populasi mencapai 5,5 juta jiwa yang tersebar di 23 kabupaten/kota, 285 kecamatan, dan 6.495 gampong, Aceh memperlihatkan potensi yang besar namun juga tantangan yang kompleks.

Data terbaru dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) tahun 2023 menunjukkan bahwa angka kemiskinan masih mencapai 14,45%, sementara tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 6,03% pada Agustus 2023.

Meskipun Aceh telah menerima dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar Rp 106 Triliun dari tahun 2008 hingga 2023, tantangan dalam memperbaiki tingkat kemiskinan dan pengangguran tetap menjadi fokus utama.

Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2023 mencatatkan kenaikan menjadi 4,23%, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 4,21%. Namun, lonjakan harga beras, khususnya untuk beras Tangse dan Keumala sebesar 40% antara Februari 2023 dan Februari 2024, telah mempengaruhi daya beli masyarakat turun secara signifikan.

Berikut adalah sepuluh rekomendasi dari Dr. Amri untuk mendorong pembangunan Aceh ke depan:

Pengentasan Kemiskinan: Aceh perlu mengambil langkah konkret untuk menurunkan angka kemiskinan dari 14,45% menjadi di bawah 10% dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Penanggulangan Pengangguran: Fokus pada penciptaan lapangan kerja dengan meningkatkan kesesuaian antara keahlian lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja lokal.

Investasi Infrastruktur: Mengundang investasi, terutama dari investor dalam negeri, untuk mengembangkan proyek-proyek strategis seperti jalan tol Sigli – Langsa, irigasi, dan pembangunan pelabuhan di pesisir Aceh guna meningkatkan konektivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi Regional.

Stabilisasi Harga Bahan Pokok: Menanggapi lonjakan harga beras dengan kebijakan yang tepat untuk memastikan ketersediaan dan harga yang terjangkau bagi masyarakat.

Prioritas Proyek Strategis Nasional: Mempercepat implementasi proyek-proyek infrastruktur nasional di Aceh, termasuk jalan tol dan pengembangan pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus/KEK.untuk meningkatkan aksesibilitas dan daya saing ekonomi daerah.

Reformasi Sektor Perbankan: Meningkatkan kapasitas dan kompetitivitas Bank Aceh Syariah agar dapat bersaing dengan bank syariah lainnya, dengan fokus pada pelayanan yang lebih baik dan inovasi produk. Atau optimalisasi Industri Perbankan Syariah di Aceh.

Pengembangan Sektor Primer: Mengoptimalkan potensi sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan sebagai tulang punggung ekonomi Aceh, dengan memperkuat dukungan infrastruktur dan akses pasar bagi para petani dan nelayan.

Pemberdayaan Desa: Mengalokasikan dana desa secara efektif dan efisien untuk mengentaskan kemiskinan ekstrim di pedesaan, dengan mengimplementasikan model Inpres desa tertinggal sebagai langkah strategis.

Pemberdayaan Ekonomi Pedesaan: Menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong (APBG) untuk mengembangkan potensi ekonomi masyarakat pedesaan di 6.495 desa di Aceh, dengan fokus pada diversifikasi ekonomi lokal sesuai dengan potensi masing masing desa dan pelatihan keterampilan.

Regulasi Distribusi BBM: Memastikan keberlanjutan pasokan dan distribusi bahan bakar minyak di Aceh tanpa menggunakan sistem barcode yang menghambat akses masyarakat.

Bukan itu saja, Dr Amri juga menyarankan pemerintah segera membentuk tim kecil yang kuat dan berpengaruh untuk melobi agar dana Otsus Aceh kembali menjadi 2 persen atau 2,5 persen, sehingga geliat ekonomi Aceh lebih terasa.

Dengan menerapkan rekomendasi ini secara komprehensif, diharapkan Aceh dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas hidup seluruh masyarakatnya.

Sehingga masyarakat tak bertanya lagi dimana letak kesalahan pembangunan ekonomi di Aceh. Apa salah planning, apa salah di pelaksanaan/eksekutif, apa salah leadership/kepemimpinan daerah atau salah di pengawasan.

“Ini adalah langkah awal yang penting dalam menjawab tantangan dan memanfaatkan potensi Aceh secara optimal untuk kesejahteraan bersama,” demikian ungkap pria pemegang sertifikat Planning and Budgeting dari Graduate Research Institute for Policy Studies/GRIPS Tokyo Jepang tersebut.

  • Bagikan
Exit mobile version