DAERAHUTAMA

Syarat Lunas PBB Dinilai Berpotensi Memeras Warga Banda Aceh, Begini Penjelasan Pengamat

×

Syarat Lunas PBB Dinilai Berpotensi Memeras Warga Banda Aceh, Begini Penjelasan Pengamat

Sebarkan artikel ini
Syarat Lunas PBB Dinilai Berpotensi Memeras Warga Banda Aceh, Begini Penjelasan Pengamat . Foto: Dok. MB

MITRABERITA.NET | Kebijakan Pemko Banda Aceh yang mewajibkan bukti lunas PBB-P2 sebagai syarat pengurusan berbagai administrasi bagi ASN, Non-ASN, pelaku usaha, dan masyarakat, secara normatif dianggap bertujuan positif demi mendorong kepatuhan pajak, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat.

Langkah ini menegaskan bahwa kewajiban warga kota terhadap daerah bukan sekadar formalitas, tetapi harus menjadi prasyarat untuk mendapatkan hak administrasi tertentu.

Namun, di balik tujuan tersebut, kebijakan ini juga dianggap menyimpan potensi masalah jika tidak diimbangi dengan dasar hukum yang kokoh dan strategi komunikasi publik yang tepat.

“Mengaitkan hak administrasi seperti tanda tangan SKP, kenaikan gaji berkala, atau surat usaha, dengan kewajiban pajak memang bisa menjadi alat tekan efektif. Tetapi, tanpa payung hukum yang jelas, langkah ini rentan dipersoalkan secara hukum sebagai pembatasan akses layanan publik,” ungkap Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Dr. Usman Lamreung.

Dalam keterangan yang diterima media, Rabu 27 Agustus 2025, akademisi Universitas Abulyatama itu menjelaskan bahwa dari sisi sosial, kebijakan ini bisa memicu resistensi. Sebab, tidak semua warga yang menunggak PBB adalah pembangkang pajak.

“Sebagian bisa jadi terjebak dalam kondisi ekonomi sulit, namun tidak memenuhi kriteria miskin secara administratif. Jika kelompok ini terdampak, persepsi publik bisa bergeser, dari kebijakan penegakan disiplin pajak menjadi kebijakan yang ‘memeras’ rakyat,” katanya mengingatkan.

Selain itu, kata Dr. Usman Lamreung, tantangan teknis juga tidak kecil. Verifikasi bukti lunas PBB untuk setiap layanan berisiko memperlambat proses administrasi, apalagi jika data antar instansi belum terintegrasi secara digital.

Alih-alih meningkatkan PAD, kebijakan tersebut juga bisa menambah  birokrasi dan bahkan bisa memperburuk kepuasan layanan publik. Karena itu,Nia menyarankan agar kebijakan ini harus disiapkan dengan matang.

“Setidaknya memerlukan tiga hal agar tidak menjadi bumerang yaitu: Pertama adalah dasar hukum yang kuat (Qanun atau Perwal) agar tidak rawan gugatan,” sebutnya.

“Kedua adalah mekanisme pengecualian yang jelas dan humanis, bukan sekadar ‘kecuali miskin’ secara formal. Ketiga butuh sosialisasi dan integrasi data agar prosesnya cepat, transparan, dan tidak mengorbankan pelayanan publik.”

“Tanpa itu semua, bukti lunas PBB sebagai syarat administrasi, bisa jadi hanya menambah deretan kebijakan populis yang gagal diimplementasikan dengan efektif,” pungkasnya.

Media Online