Sepenggal Kisah Pilu dari Simpang Ulim

Sepenggal Kisah Pilu dari Simpang Ulim. Foto: Gemarnews

MITRABERITA.NET | Di antara dinding kayu yang lapuk dan atap dari daun rumbia yang berlubang, Ibu Supiana menghabiskan hari-harinya dengan sabar.

Setiap tetes hujan yang jatuh ke dalam rumahnya bukan hanya membasahi lantai, tapi juga membasahi harapannya akan kehidupan yang lebih layak.

Di usia senjanya, Supiana masih bertahan di rumah tua yang hampir roboh, sambil memeluk mimpi sederhana: sebuah tempat tinggal yang aman dan nyaman.

Di sudut kecil Gampong (Desa) Bantayan, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, berdiri sebuah rumah tua yang nyaris roboh. Di sanalah Ibu Supiana, seorang janda sederhana, bertahan hidup.

Dinding rumahnya rapuh dimakan usia, atap berlubang, dan setiap hujan turun, air mengalir bebas ke dalam rumah. Angin kencang pun kerap membawa sebagian atap dan dindingnya pergi entah ke mana.

Berita tentang kondisi memilukan ini sempat menggugah perhatian publik saat viral di media online pada 14 Januari 2025. Namun hingga Kamis 10 April 2025, rumah tersebut belum juga mendapat uluran tangan dari program bantuan sosial pemerintah.

Seperti dilansir Gemarnews, program Rumah Tidak Layak Huni (RUTILAHU) yang dicanangkan untuk membantu warga seperti Supiana, ternyata belum merata.

Meski disebut-sebut sudah pernah didata oleh kepala desa dan berkas-berkasnya diajukan ke Baitulmal Aceh Timur, hingga kini bantuan yang dinanti tak kunjung datang.

Bahkan, setelah pihak kecamatan mengumpulkan berkas tambahan atas instruksi Bupati Aceh Timur pada Februari lalu, hasilnya tetap sama, sunyi.

Lebih memilukan, Supiana bahkan tidak memiliki kamar mandi di dalam rumahnya. Setiap hari, ia harus menggunakan kamar mandi darurat dengan menampung air di drum plastik seadanya.

“Ini sangat memprihatinkan, apalagi rumah tersebut sudah tidak layak huni dan berpotensi membahayakan penghuninya. Kami berharap pemerintah segera menindaklanjuti permohonan bantuan ini,” ujar seorang warga setempat, matanya memandang penuh keprihatinan.

Kisah Supiana menjadi cermin nyata betapa di balik gembar-gembor pembangunan, masih ada rakyat kecil yang terabaikan. Sementara bangunan megah terus tumbuh di kota-kota, rumah mungil milik Supiana perlahan rapuh dimakan waktu dan kesunyian.

Ibu Supiana berharap kepada pemerintah, baik dari tingkat Kecamatan, Daerah, Provinsi, maupun Pusat, agar ia bisa mendapatkan bantuan rumah yang layak.

Di balik tembok rapuh itu, Supiana terus menanti secercah harapan yang mungkin suatu hari datang, membawa perubahan bagi hidupnya yang lama terabaikan.