MITRABERITA.NET | Di antara gemuruh ombak Pantai Batee Puteh yang menyapu lembut perahu-perahu kecil di bibir pantai, berdiri seorang pria dengan kulit legam terbakar matahari.
Ia menebar senyum kepada warga. Senyum yang sederhana namun menyimpan ketenangan jiwa yang tak mudah dicari di dunia yang penuh ambisi.
Namanya Marhaban, seorang nelayan paruh baya dari Gampong Lhok Aman, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.
Hari itu, Rabu 30 April 2025, tangkapan ikannya hanya satu hingga dua kilogram, jumlah yang bahkan tak cukup untuk dijual ke pasar.
Sepulang memancing ikan, ia dibantu oleh beberapa warga yang berada di pinggir pantai. Mereka mendorong perahu Marhaban ke atas pantai.
Namun Marhaban tak mengeluh. Wajahnya tetap cerah, matanya tetap berbinar. Usia senja tidak membuat bermalas-malasan.
“Tidak ada yang lebih menyenangkan dan menentramkan hati selain syukur atas nikmat yang Allah berikan,” ucapnya kepada wartawan MITRABERITA.NET sambil memandang laut biru di hadapannya.
Rezeki yang Cukup untuk Bahagia
Dalam dunia yang kerap mengukur kesuksesan dari angka, Marhaban mengajarkan hal sebaliknya. Baginya, hasil tangkapan hari itu sudah cukup.
Cukup untuk makan bersama keluarga tercinta di rumah kayu sederhana yang berdiri tak jauh dari pantai.
Tak ada kemewahan, tapi ada ketenangan. Tak ada limpahan harta, tapi ada limpahan rasa syukur.
Ia bukan tokoh besar. Ia bukan viral karena sensasi. Tapi kisah Marhaban adalah kisah tentang manusia yang telah berdamai dengan kehidupan.
Ia bangun pagi-pagi buta, menyiapkan jaring, melawan ombak, dan pulang dengan apa pun yang diberikan laut.
Nama kampungnya, Lhok Aman, seakan mencerminkan hidup yang ia jalani: aman, tenteram, dan damai bersama alam.
Meski cuaca tak menentu, hasil laut semakin sulit ditebak, Marhaban tak kehilangan arah.
Ia percaya bahwa rezeki tidak pernah salah alamat, dan syukur akan selalu membuka pintu kebahagiaan.
“Kadang tidak ada ikan, kadang ada lebih. Kalau kita marah dan kecewa, hati makin sempit. Tapi kalau kita syukur, hidup terasa luas,” katanya sambil tersenyum lebar.
Bahkan, di tengah gempuran berita tentang kegagalan ekonomi, tuntutan hidup yang tinggi, dan pencapaian-pencapaian gemilang, Marhaban hadir sebagai pengingat bahwa bahagia bukan soal berapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa dalam kita bisa menghargai yang ada.
Kisah Marhaban bukan sekadar kisah nelayan. Ia adalah cermin bagi siapa saja yang tengah berjuang, yang kadang lupa bahwa nikmat terbesar ada dalam ketenangan hati dan syukur yang tak henti.
Penulis: Hafizh | Editor: Redaksi