Sengketa Empat Pulau dan Luka Lama yang Belum Sembuh

Muliadi Azis. Foto: Dok. Pribadi

EMPAT pulau kecil yang tampak remeh di peta kini sedang memicu gelombang amarah dari Aceh ke Sumatera Utara. Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek tiba-tiba menjadi panggung geopolitik domestik yang ramai. Ramai bukan hanya karena surat dari Kemendagri, tapi juga karena rasa luka dan sejarah yang tak pernah benar-benar selesai disembuhkan.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada April 2025 memutuskan menjadikan empat pulau milik Aceh itu masuk ke dalam administratif Provinsi Sumatera Utara, dengan alasan bahwa terjadi pembaruan kode wilayah.

Namun keputusan Kemendagri ini menyulut protes keras dari masyarakat Aceh. Bukan hanya karena soal batas, tapi karena menyentuh langsung harga diri, identitas, dan sejarah panjang perundingan damai yang terwujud dalam perjanjian damai MoU Helsinki pada tahun 2005 silam.

Satu butir penting dari MoU Helsinki menyebutkan bahwa batas wilayah Aceh harus mengacu pada peta 1 Juli 1956. Ironisnya, salinan resmi peta itu kini tak lagi ditemukan. Sejarah yang pernah menjadi dasar legitimasi, hilang tanpa arsip. Ini seperti meminta rakyat mengingat luka, tapi menolak mengakui bekas jahitannya.

Lebih kacau lagi, banyak poin dari perjanjian damai itu belum dilaksanakan secara utuh hingga hari ini. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang pernah dijanjikan, tak kunjung permanen. Pengadilan HAM untuk Aceh masih sebatas wacana.

Bahkan, soal simbol daerah dan kewenangan fiskal pun masih terus digantung oleh Pemerintah Pusat. Dan, ketika pulau kecil yang dianggap milik Aceh dimasukkan ke Sumut tanpa konsultasi yang layak, reaksi keras dari masyarakat pun bukan hal yang aneh.

Saya khawatir, ini bukan sekadar konflik administratif. Ini bisa menjadi bara dari bara lama. Mengingat Indonesia punya terlalu banyak catatan kelam tentang konflik horizontal.

Entah karena agama, identitas, atau tanah. Sejarah Timor Timur, Poso, Sampit, Ambon, hingga Aceh sendiri harusnya cukup jadi pelajaran. Kita bukan kekurangan konflik. Kita hanya kelebihan lupa.

Sengketa empat pulau ini rawan jadi “civil war”- konflik antara saudara sebangsa, seperahu, sesumur. Apalagi bila narasi “penghilangan hak Aceh” terus dipupuk, sementara pendekatan pemerintah hanya sebatas audit kode wilayah tanpa empati historis.

Jika pemerintah tidak segera mengoreksi pendekatan ini dengan mengedepankan dialog, transparansi, dan pelibatan masyarakat Aceh secara bermartabat, maka jangan pernah salahkan jika satu surat kecil bisa berubah jadi bab besar dalam sejarah konflik bangsa ini. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya soal garis peta, tapi masa depan bangsa.

Ditulis oleh: Muliadi Azis (Warga Pulo Aceh, Kader Muda Partai Gerindra)