MITRABERITA.NET | Suasana halaman Kantor Gubernur Aceh mendadak ramai pada Senin 16 Juni 2025, ketika ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aceh Melawan (GAM) turun ke jalan menyampaikan aspirasinya.
Para mahasiswa dari lintas kampus di Banda Aceh dan Aceh Besar ini mengecam keras keputusan pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di wilayah Aceh Singkil sebagai milik Provinsi Sumatera Utara.
Sambil mengibarkan bendera Bintang Bulan, bendera yang tak lain adalah simbol historis perjuangan Aceh semasa konflik, para mahasiswa dengan lantang menyuarakan satu tuntutan, “Kembalikan Pulau Kami!”
Empat pulau yang dimaksud yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang secara sepihak telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
“Kami menolak keputusan itu karena sama saja dengan mencaplok wilayah Aceh. Empat pulau itu milik Aceh, bukan milik Sumut,” tegas orator Ilham Riski Maulana, yang juga koordinator aksi.
Menurutnya, keputusan Mendagri tidak hanya keliru secara administratif, tapi juga mengabaikan fakta sejarah, warisan budaya, serta posisi geografis yang jelas-jelas mengindikasikan bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.
“Ini bukan semata persoalan tanah. Ini tentang marwah rakyat Aceh. Ini tentang harga diri dan kedaulatan wilayah yang selama ini kami jaga,” kata dia dengan nada penuh semangat.
Aksi tersebut berlangsung damai. Bendera Bintang Bulan yang dikibarkan sejumlah peserta menjadi sorotan utama, bukan karena simbolismenya saja, tetapi juga sebagai penegasan identitas Aceh yang dianggap kian terpinggirkan oleh keputusan pusat.
Para aparat keamanan yang berjaga di lokasi tampak waspada namun tidak melakukan tindakan represif. Suasana aksi diwarnai yel-yel, poster tuntutan, dan pembacaan puisi yang menggugah semangat persatuan Aceh.
Tidak hanya soal wilayah, massa aksi juga menyampaikan penolakan keras terhadap rencana pembangunan empat batalyon militer baru di Aceh.
Mereka menilai kebijakan itu bertolak belakang dengan semangat perdamaian yang telah dibangun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.
“Kami tidak butuh tambahan batalyon. Kami tidak butuh intimidasi militer. Aceh sudah damai. Biarkan kami hidup dengan tenang,” tutupnya.
Editor: Redaksi