MITRABERITA.NET | Penolakan Badan Legislasi DPR-RI terhadap usulan revisi Pasal 7 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) kembali memicu kekecewaan mendalam di Tanah Rencong.
Bagi masyarakat Aceh, keputusan itu bukan sekadar soal redaksional, melainkan persoalan komitmen negara terhadap MoU Helsinki, perjanjian damai yang menjadi fondasi berakhirnya konflik panjang.
Dr. Usman Lamreung, akademisi Universitas Abulyatama sekaligus pengamat politik dan kebijakan publik, menegaskan bahwa revisi UUPA tidak boleh dipandang dengan logika otonomi biasa.
Menurutnya, UUPA lahir dari perundingan khusus antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang menghasilkan jalan tengah, bahwa Aceh bukan negara merdeka, namun juga bukan sekadar daerah dengan otonomi terbatas.
“MoU Helsinki adalah lex specialis, bukan subordinat dari UU Pemerintahan Daerah. Jika revisi UUPA dipaksakan dengan kacamata regulasi otonomi daerah, maka itu pengkhianatan terhadap semangat damai yang ditebus dengan darah dan martabat,” tegas Usman, Sabtu 20 September 2025.
Pasal 7 UUPA saat ini masih memuat frasa “kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah”.
Bagi banyak pihak di Aceh, sisipan itu secara diam-diam mengerdilkan makna otonomi khusus. Revisi yang diajukan bertujuan menghapus frasa tersebut, agar kewenangan Aceh benar-benar sejalan dengan MoU Helsinki.
Namun, Baleg DPR-RI menolak dengan alasan bahwa UUPA tetap harus tunduk pada UU Pemerintahan Daerah. Inilah yang kemudian dianggap publik sebagai bentuk pengingkaran.
“Kalau logikanya sama dengan otonomi daerah biasa, sejak awal tidak akan pernah ada perundingan di Helsinki. Justru karena Aceh berbeda, lahirlah perjanjian damai itu,” tegas Usman.
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, sang arsitek perdamaian Aceh, baru-baru ini juga mengingatkan bahwa setiap revisi UUPA harus merujuk pada MoU Helsinki.
Usman menilai pernyataan Jusuf Kalla bukan sekadar opini, melainkan pengingat dari saksi sejarah yang memahami rapuhnya kepercayaan jika janji damai diabaikan.
“Mengabaikan MoU Helsinki bukan hanya pelanggaran terhadap perdamaian, tetapi juga menggerus legitimasi negara di mata rakyat Aceh,” kata Usman.
Menurut Usman, revisi UUPA adalah ujian nyata komitmen pemerintah pusat dalam menghormati perjanjian damai. Jika MoU terus dikesampingkan, maka kepercayaan publik akan terkikis, dan stabilitas yang selama ini dijaga bisa kembali rapuh.
“Sudah saatnya pemerintah pusat berhenti melihat Aceh sebagai daerah biasa. Aceh punya sejarah luar biasa. Jika MoU Helsinki diingkari, maka yang hilang bukan hanya pasal, melainkan kepercayaan dan legitimasi negara di Aceh,” pungkasnya
Editor: Redaksi