Daerah  

Pulo Aceh dan Harapannya untuk Masa Depan

Mercusuar William's Torrent III Pulo Aceh yang berlokasi di Pulau Breuh. Foto: MB - HSP

MITRABERITA.NET | Bayangkan hidup di sebuah pulau kecil di ujung barat Indonesia, di mana laut biru membentang sejauh mata memandang, pantai-pantai berpasir putih masih alami, dan udara masih segar tanpa polusi.

Kedengarannya seperti surga, ya? Tapi di balik keindahan itu, ada cerita lain yang tak banyak orang tahu.

Ini kisah tentang Pulo Aceh, kecamatan kepulauan di Kabupaten Aceh Besar, dengan penduduk sekitar lima ribu orang, yang hingga hari ini masih bergelut dengan tantangan besar, yaitu akses listrik yang stabil dan jaringan komunikasi yang memadai.

Kalau kamu mau ke Pulo Aceh, jangan bayangkan pelabuhan megah atau kapal ferry besar yang siap menyeberangkanmu. Di sini, transportasi sehari-hari masih mengandalkan perahu kayu.

Baca juga: Alasan Mengapa Harus ke Aceh

Setiap hari, perahu-perahu ini mengangkut orang dan barang dari daratan utama menuju pulau-pulau yang tersebar, khususnya Pulau Breuh dan Pulau Nasi, dua pulau besar berpenghuni.

Meskipun terasa sangat “tradisional” dan punya daya tarik tersendiri, kondisi ini tentu menyulitkan, apalagi saat cuaca sedang buruk. Ombak tinggi, angin kencang, dan hujan deras bisa menghentikan semua aktivitas, termasuk pengiriman logistik penting.

Mati Lampu Sudah Jadi “Makanan Sehari-hari”

Bicara soal listrik, Warga Pulo Aceh mungkin sudah terlalu terbiasa dengan yang namanya mati lampu. Tapi jangan salah, terbiasa bukan berarti rela.

Penyebabnya? Banyak. Mesin pembangkit yang digunakan di sana sudah tua, bahkan ada yang kapasitasnya kecil dan tidak mampu lagi mengalirkan listrik secara maksimal ke seluruh wilayah.

Belum lagi faktor alam. Pulo Aceh sering mengalami cuaca ekstrem, dan jaringan listriknya kerap terganggu oleh ranting pohon yang menyentuh kabel. Akibatnya, listrik sering padam tanpa pemberitahuan, membuat aktivitas warga lumpuh mendadak.

Masalah listrik ternyata berdampak ke masalah lain yaitu komunikasi. Tower penyedia jaringan seluler di Pulo Aceh juga bergantung pada pasokan listrik setempat.

Ketika listrik bermasalah, sinyal pun ikut-ikutan “menghilang”. Apalagi saat badai datang, sinyal bisa lenyap berjam-jam, bahkan berhari-hari.

Baca juga: Hasballah Minta PLN Perhatikan Masalah Kelistrikan di Pulo Aceh

Bayangkan susahnya. Mau kirim pesan penting ke keluarga di daratan? Mau cek harga hasil tangkapan ikan di Banda Aceh? Mau ikut kelas online untuk belajar sesuatu yang baru? Semua itu jadi tantangan besar.

Di era di mana dunia seolah ada di genggaman tangan lewat internet, keterbatasan ini membuat Pulo Aceh seperti berjalan di tempat, sementara dunia luar terus berlari kencang.

Pulo Aceh Butuh Sentuhan

Padahal, kalau kita lihat lebih dekat, potensi Pulo Aceh luar biasa besar. Tiga sektor utama: perkebunan, pertanian, dan perikanan menjadi tumpuan hidup warga.

Tanah subur, laut yang kaya, dan sumber daya alam melimpah, semua ada di sini. Ekonomi masyarakat setempat berputar dari hasil bumi dan laut yang terbentang luas.

Belum lagi kekayaan wisatanya. Pantai-pantai berpasir putih bersih, laut berwarna biru jernih, dan pegunungan hijau yang masih alami —semuanya masih asri dan belum banyak tersentuh pembangunan.

Ada satu ikon sejarah yang sangat berharga di sini yaitu Mercusuar William’s Torrent III, peninggalan era kolonial Belanda, yang katanya hanya ada tiga di dunia!

Baca: William’s Torrent III, Jejak Kolonial yang Menakjubkan di Pulo Aceh

Bayangkan betapa besar potensi Pulo Aceh untuk jadi destinasi wisata kelas dunia kalau saja infrastrukturnya mendukung, dan pemerintah mau memolesnya untuk pembangunan.

Warga Pulo Aceh tidak menuntut muluk-muluk. Mereka hanya berharap ada perhatian lebih terhadap kebutuhan dasar mereka: listrik yang menyala stabil, sinyal internet dan komunikasi yang bisa diandalkan, guru-guru berkualitas untuk anak-anak mereka, dan transportasi yang lebih aman dan modern.

Bayangkan jika listrik stabil dan sinyal kuat, betapa banyak perubahan positif yang bisa terjadi. Anak-anak bisa belajar daring, nelayan bisa menjual hasil tangkapan dengan harga terbaik, pelaku UMKM bisa menjangkau pasar lebih luas, wisatawan bisa datang tanpa takut “terputus dari dunia luar”.

Sedikit pelatihan keterampilan, pembangunan fasilitas pendukung wisata, penguatan ekonomi lokal berbasis potensi alam —semua itu bisa mengangkat taraf hidup warga Pulo Aceh secara signifikan.

Menjaga Ujung Barat Negeri, Membuka Cakrawala Baru

Pulo Aceh bukan hanya soal potensi ekonomi. Lebih dari itu, wilayah ini adalah ujung barat Indonesia, simbol kedaulatan negara di Samudera Hindia. Melihat Pulo Aceh berarti melihat seberapa serius bangsa ini menjaga setiap jengkal tanah airnya.

Pembangunan listrik dan komunikasi di Pulo Aceh bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi juga investasi sosial, ekonomi, dan bahkan strategis. Ini tentang memberi kesempatan setara kepada saudara-saudara kita di pulau kecil itu, untuk tumbuh dan berkembang bersama seluruh anak bangsa.

Baca: Pulo Aceh, Permata Tersembunyi yang Terabaikan Pemerintah

Karena sejatinya, Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya, atau Medan. Indonesia juga adalah Pulo Aceh —dengan segala keindahan, harapan, dan potensi luar biasa yang ia miliki.

Kini saatnya membuktikan bahwa tidak ada satu pun sudut negeri ini yang dilupakan. Saatnya Pulo Aceh bersinar, secerah matahari yang setiap hari terbit di ufuk timurnya, dan tetap menyala, sekuat tekad mereka yang hidup di ujung barat Nusantara.