MITRABERITA.NET | Deru langkah petugas kepolisian dan pegawai PT Kereta Api Indonesia PT KAI (Persero) terdengar menggema di Blok PJKA, Jalan T Chik Paya Bakong, Kampung Jawa Muka I, Kota Langsa, Selasa pagi 8 April 2025.
Mereka datang dengan membawa surat perintah pengosongan (penggusuran) lahan selama tujuh hari. Para penghuni –yang sebagian besar merupakan pensiunan, karyawan dan keluarga besar PT KAI– terdiam, bingung, dan merasa dikhianati.
PT KAI mengungkap bahwa langkah penggusuran ini merupakan bagian dari rencana penataan aset milik negara, meski pembangunan di atas tanah tersebut belum memiliki kejelasan.
Dalam surat resmi yang ditandatangani Manager Aset Tanah dan Bangunan Wilayah Langsa, Rifialda Fatwa Janua, PT KAI menyebut bahwa penertiban ini mengacu pada surat KPK Nomor: R-4002/10-12/09/2014 serta Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-13/MBU/09/2014 tentang Pendayagunaan Aset BUMN.
Namun yang menjadi sorotan tajam adalah proses yang dianggap tidak berjalan adil. Dalam empat tahapan penertiban sebelumnya, seluruh penghuni telah menerima kompensasi yang layak.
Namun kali ini, PT KAI hanya menawarkan Rp 5 juta —jumlah yang dianggap jauh dari layak dan dianggap menyalahi preseden tahapan sebelumnya yang memberikan kompensasi Rp 50 juta per rumah.
Mereka yang kini terancam terusir bukan pendatang liar. Ada Yudi Fernanda, Bahtiar Arun, Saijah, Bambang Kisno, Fatimah Zahra, Afnila Ali, Bustami Ahmad, Elida Saiya, M Nurdin, Siti Aisyah, Mansur, dan Yusniar.
Sebagiannya adalah anak dan istri dari para mantan pekerja PT KAI yang pernah mengabdi puluhan tahun. Mereka membangun kehidupan di atas tanah yang dulu menjadi bagian dari tugas negara.
“Ini bukan sekadar rumah, ini sejarah keluarga kami dengan KAI,” ujar Fatimah Zahra, yang orang tuanya merupakan pensiunan kepala stasiun di masa lalu.
“Kami bukan menolak relokasi, tapi kami menuntut keadilan. Jangan kami dipaksa pergi tanpa dihargai,” sambungnya, Selasa.
Kepada media ini, ia mengungkapkan bahwa upaya mediasi yang dilakukan di kantor Camat Langsa Kota pada 17 Februari 2025 telah menemui jalan buntu.
Dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh Muspika dan Geuchik Kampong Jawa Muka I, jelas tertulis bahwa kedua pihak belum mencapai kesepakatan, dan penghuni meminta kompensasi Rp 50 juta sesuai tahapan sebelumnya.
Namun, PT KAI bersikukuh pada angka Rp 5 juta. Kini, tanpa hasil musyawarah, mereka datang dengan surat bernomor KA.203/IV/2/DV.1.2025 untuk menggusur warga yang tinggal di sana.
Sementara itu, proses penggusuran yang dilakukan tanpa kompensasi layak dapat dinilai melanggar prinsip due process of law, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk proyek pembangunan nasional.
Pertanyaannya, apakah para mantan abdi negara itu pantas diperlakukan seperti penghuni liar?
Apakah sejarah pengabdian dan ikatan emosional tidak lagi dihargai di negeri ini?
Fatimah menegaskan, PT KAI dan negara mungkin punya dasar hukum. Namun, bila hukum dijalankan tanpa rasa keadilan dan empati, yang tinggal hanyalah kekuasaan yang dingin.
“Kalau negara sudah tega menggusur mantan pekerjanya sendiri tanpa kompensasi yang adil, lalu ke mana kami harus berlindung?” tanya Fatimah lirih, sambil sesekali menatap bangunan kecil yang menjadi tempat bernaungnya selama puluhan tahun.