MITRABERITA.NET | Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Zulfadli bersama para Wakil Ketua DPRA, seluruh Ketua Fraksi DPRA, dan jajaran pimpinan politik Aceh menghadiri pertemuan strategis dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dan anggota Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh.
Pertemuan berlangsung pada Jumat malam 13 Juni 2025, membahas dua isu krusial yang menyangkut masa depan Aceh: sengketa batas wilayah empat pulau dengan Sumatera Utara, dan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Acara ini berlangsung di tengah keprihatinan bersama atas langkah sepihak yang diambil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Kepmendagri No. 050-145 dan No. 100.1.1-6117 Tahun 2022, yang menyebutkan bahwa empat pulau di wilayah perbatasan Aceh dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Dalam forum yang juga dihadiri Plt. Sekda Aceh, para kepala SKPA dan kepala biro, ketua partai politik lokal, rektor perguruan tinggi, serta para ulama terkemuka, Gubernur Mualem secara tegas menyatakan penolakan terhadap keputusan Kemendagri.
“Pemerintah Aceh menolak keras penetapan sepihak tersebut. Keempat pulau itu secara historis, administratif, dan teknis adalah bagian dari wilayah Aceh. Ini bukan soal klaim semata, tetapi fakta yang didukung dokumen dan sejarah panjang,” tegas Mualem.
Mualem menjelaskan, keberadaan keempat pulau tersebut telah diakui sejak lama dalam berbagai dokumen, termasuk UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, surat Gubernur Sumut tahun 1953, hingga hasil pemetaan KKP tahun 2016 dan 2018, yang menunjukkan bahwa titik koordinat keempat pulau berada dalam batas wilayah Aceh.
Sementara itu, Ketua DPRA Zulfadli, dalam pertemuan tersebut, menegaskan pimpinan dan seluruh fraksi di DPRA berdiri teguh satu suara bersama Pemerintah Aceh dan masyarakat, menolak segala bentuk pengurangan wilayah Aceh yang tidak berdasarkan prinsip hukum, keadilan, dan data faktual.
“Ini bukan hanya soal pulau. Ini menyangkut kedaulatan administratif dan identitas Aceh. Seluruh unsur legislatif di Aceh sepakat untuk mengawal isu ini hingga tuntas,” tegas Zulfadli.
Para Wakil Ketua DPRA dan ketua-ketua fraksi turut menyampaikan pandangan dan dukungan penuh dalam rapat tersebut. Mereka menegaskan keempat pulau tersebut berada dalam struktur pelayanan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil selama bertahun-tahun, dan keberadaannya tidak bisa begitu saja digeser lewat keputusan administratif yang tidak transparan.
Selain itu, forum ini juga menjadi ajang konsolidasi politik Aceh dalam menghadapi proses revisi UUPA. Gubernur Mualem mengingatkan bahwa UUPA merupakan produk hukum hasil MoU Helsinki 2005, dan revisinya harus tetap berpijak pada semangat perdamaian serta kekhususan Aceh.
“Jangan sampai revisi UUPA justru mengikis kewenangan yang telah diperjuangkan dan diakui dalam perjanjian damai. Kita harus mengawal ini bersama-sama,” kata Mualem di hadapan seluruh pimpinan lembaga.
Seluruh pimpinan DPRA, termasuk wakil ketua dan fraksi, menyatakan dukungan terhadap arah perjuangan mempertahankan substansi UUPA. Mereka menekankan bahwa DPRA telah melakukan berbagai kajian, dengar pendapat, dan penyusunan akademik untuk memastikan revisi yang akan diajukan tetap sejalan dengan semangat self-government Aceh dalam bingkai NKRI.
Anggota Forbes DPR/DPD RI asal Aceh juga menegaskan komitmen mereka untuk menyuarakan aspirasi ini di tingkat nasional. Mereka meminta agar proses validasi ulang batas wilayah Aceh–Sumut dilakukan secara objektif dan melibatkan pemerintah daerah secara aktif.
Kesimpulan pertemuan menghasilkan kesepakatan bersama, yaitu;
- Mendesak Kemendagri membatalkan penetapan sepihak terhadap empat pulau tersebut.
- Melakukan validasi ulang batas wilayah berdasarkan dokumen historis, hukum, dan teknis.
- Mengembalikan keempat pulau ke wilayah administrasi Aceh sebagaimana mestinya.
- Mengawal ketat proses revisi UUPA agar tidak menyimpang dari MoU Helsinki.
Pertemuan penting ini menegaskan bahwa Aceh bersatu suara, baik dari eksekutif, legislatif, hingga perwakilan nasional, untuk menjaga integritas wilayah dan kekhususan yang telah diperjuangkan dengan darah dan diplomasi.