MITRABERITA.NET | Perang 12 hari antara Iran dan Israel ternyata bukan hanya menyebabkan kehancuran infrastruktur di wilayah pendudukan, tapi juga menimbulkan kerugian finansial yang fantastis bagi Amerika Serikat.
Tak tanggung-tanggung, Negeri Paman Sam disebut menanggung kerugian lebih dari Rp 19.769 Triliun akibat keterlibatannya dalam membantu pertahanan Israel dari Serangan Rudal Iran.
Dikutip dari Bloomberg dan Mehr News, Israel sendiri sudah mencatat kerugian langsung sebesar USD3 miliar atau sekitar Rp49 triliun akibat serangan balasan besar-besaran dari Iran yang menghancurkan sejumlah fasilitas vital.
Namun, yang lebih mengejutkan, kerugian paling besar justru ditanggung oleh Amerika Serikat yang terpaksa mengerahkan sistem pertahanan mutakhir mereka untuk melindungi sekutunya itu.
Konflik memanas sejak 13 Juni 2025 lalu ketika Israel melancarkan serangan agresif ke sejumlah wilayah militer, nuklir, dan pemukiman sipil Iran.
Merespons hal itu, Iran meluncurkan Operasi Janji Sejati III, menyerang secara bertubi-tubi dengan 22 gelombang rudal yang berhasil menembus sistem pertahanan canggih Israel, termasuk Iron Dome.
Ketika Israel kewalahan, Amerika Serikat turun tangan dengan mengaktifkan sistem pertahanan udara Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) yang mereka tempatkan di wilayah Israel.
Sistem THAAD, meskipun dikenal sebagai salah satu yang tercanggih di dunia, tetap tak mampu sepenuhnya menahan intensitas serangan rudal dan drone dari Iran.
Menurut laporan Military Watch, selama perang berlangsung, sistem THAAD milik AS menembakkan antara 60 hingga 80 rudal pencegat untuk mencegah kehancuran lebih lanjut.
Namun, setiap peluncuran rudal pencegat THAAD menghabiskan dana antara USD12 juta hingga USD15 juta, sehingga total biaya yang dikeluarkan mencapai USD1.215 miliar atau lebih dari Rp19.769 triliun.
Padahal, THAAD merupakan salah satu andalan pertahanan rudal balistik jarak jauh AS, dan penggunaannya dalam jumlah besar menunjukkan betapa berat tekanan militer dari Iran terhadap wilayah pendudukan Israel.
Bahkan diperkirakan sekitar 15–20 persen dari total interseptor THAAD yang dimiliki Amerika Serikat dikerahkan hanya dalam konflik singkat yaitu 12 hari saja.
Kerugian besar ini menjadi pukulan telak bagi AS yang selama ini dianggap sebagai pelindung utama Israel di Timur Tengah. Selain menguras sistem pertahanan mereka, keterlibatan langsung AS juga telah memperburuk ketegangan geopolitik di kawasan.
Meskipun pertempuran dihentikan dengan gencatan senjata sejak 24 Juni, suasana tetap mencekam. Ketegangan antara Teheran dan Tel Aviv masih membara, dan kekhawatiran konflik yang lebih luas melibatkan kekuatan regional maupun global semakin nyata.
Dengan dampak finansial dan militer sebesar ini, Apakah Amerika akan tetap mampu dan mau terus menopang Israel jika perang kembali meletus? Kita tunggu saja!
Editor: Tim Redaksi