Pengamat Politik: Sebagai Penghormatan terhadap Sejarah, Empat Pulau Harus Dikembalikan ke Aceh

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Dr Usman Lamreung. Foto: Dok. Pribadi

MITRABERITA.NET | Sengketa empat pulau di wilayah Kabupaten Singkil Provinsi Aceh kini menjadi isu nasional dan bikin gaduh seantero Indonesia khususnya di Aceh dan Sumatera Utara.

Keputusan Kemendagri menetapkan keempat pulau milik Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap sejarah, kesepakatan masa lalu, dan suara rakyat Aceh.

Empat pulau yang terletak di perairan Samudera Hindia itu sejak masa kolonial telah tercatat sebagai bagian dari wilayah Aceh. Itu sebabnya, elemen masyarakat Aceh dari daerah hingga nasional mengecam Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian.

Bahkan pada tahun 1992, persoalan ini pernah diselesaikan secara damai melalui kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar. Kesepakatan tersebut menegaskan bahwa keempat pulau berada di bawah administrasi Aceh.

Namun, pada 25 April 2025, pemerintah pusat menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025, yang menetapkan keempat pulau itu masuk dalam wilayah Sumatera Utara.

Keputusan ini sontak menuai kritik dan kekecewaan dari berbagai kalangan, terutama masyarakat Aceh yang menilai keputusan tersebut dilakukan secara sepihak dan tidak menghargai proses sejarah.

Dr. Usman Lamreung, sosok Pengamat Politik dan kebijakan publik asal Aceh, menegaskan bahwa langkah pemerintah pusat ini mencerminkan pola pendekatan yang semakin sentralistik dan mengabaikan semangat otonomi khusus yang dimiliki Aceh.

“Ini bukan hanya soal batas wilayah administratif, tapi soal penghormatan terhadap sejarah dan identitas Aceh. Kesepakatan tahun 1992 itu bersifat mengikat secara moral dan politik. Pemerintah tidak bisa begitu saja menghapusnya tanpa musyawarah dan pertimbangan yang adil,” ujar Dr. Usman, Kamis 12 Juni 2025.

Menurutnya, pendekatan pemerintah yang tidak melibatkan partisipasi publik dan tidak transparan hanya akan memperkeruh suasana dan hubungan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Aceh.

Ia menilai bahwa potensi ekonomi dan strategis dari keempat pulau tersebut, mulai dari sektor bahari hingga kemungkinan sumber daya mineral, seharusnya dikelola untuk kemajuan wilayah, bukan menjadi sumber konflik antar provinsi.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sendiri mengakui bahwa sengketa ini telah berlangsung sejak 1928 dan melibatkan banyak lembaga negara. Di samping itu ia menyatakan pemerintah pusat tidak memiliki kepentingan pribadi dalam keputusan tersebut dan siap memfasilitasi dialog antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara.

Menurut Usman Lamreung, langkah menjadi sebagai peluang untuk mengulang keberhasilan rekonsiliasi pada 1992. “Jika kedua belah pihak kembali mencapai kesepakatan, maka keputusan Kemendagri saat ini masih bisa dikoreksi tanpa melalui jalur hukum yang panjang dan kompleks,” jelasnya.

Namun, Dr. Usman menegaskan bahwa penyelesaian kali ini harus lebih tegas, menyeluruh, dan bermartabat. “Ini saatnya pemerintah pusat menunjukkan komitmennya terhadap semangat keadilan dan otonomi,” katanya.

“Keempat pulau tersebut harus dikembalikan ke Aceh, bukan hanya demi kepentingan administratif, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah, kesepakatan yang sah, dan kehendak rakyat,” tegasnya.

Editor: Redaksi