PERISTIWA

Pengamat: Pemerintah Pusat Lamban, Banjir Sumatera Seharusnya Ditetapkan sebagai Bencana Nasional

×

Pengamat: Pemerintah Pusat Lamban, Banjir Sumatera Seharusnya Ditetapkan sebagai Bencana Nasional

Sebarkan artikel ini
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Dr. Usman Lamreung. Foto: Dok. MB

MITRABERITA.NET | Keputusan pemerintah pusat yang belum menetapkan banjir dan longsor di Sumatera sebagai bencana nasional menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.

Ribuan warga mengungsi, korban jiwa bertambah, jaringan jalan terputus, hingga layanan publik lumpuh di banyak daerah. Namun status darurat nasional tak kunjung diberikan.

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Dr. Usman Lamreung, menilai hal tersebut memunculkan pertanyaan serius mengenai sejauh apa penderitaan rakyat harus membesar sebelum negara mengakui bahwa krisis ini telah melampaui kapasitas pemerintah daerah.

“Publik wajar mempertanyakan sensitivitas negara. Ketika akses logistik terputus, layanan publik terganggu, dan pemerintah daerah kewalahan, status bencana nasional bukan hanya formalitas, itu penentu kecepatan mobilisasi bantuan,” ujarnya, Ahad 30 November 2025.

Pernyataan BNPB yang menyebut bahwa pemerintah daerah “masih mampu menangani dengan dukungan pusat” dianggap tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya.

Menurut Dr. Usman, pendekatan teknokratis ini justru mengabaikan fakta lapangan bahwa banyak daerah terdampak berada jauh dari pusat pemerintahan dan memiliki keterbatasan sumber daya.

“Kapabilitas daerah jelas terbatas. Dengan cakupan bencana yang luas dan korban yang terus meningkat, alasan tersebut tidak cukup menjawab realitas,” tegasnya.

Usman Lamreung menjelaskan bahwa Undang-Undang 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana sebenarnya memberikan ruang untuk menetapkan status bencana nasional jika wilayah terdampak luas, korban tinggi, dan pelayanan publik terganggu.

“Dalam konteks banjir dan longsor di Sumatera, ketiga indikator itu terpenuhi. Jadi alasan untuk menolak penetapan status nasional menjadi sulit diterima,” katanya.

Ia menilai pemerintah justru terkesan memaknai “bencana nasional” terlalu sempit, seakan hanya pantas untuk bencana berskala tsunami 2004 atau pandemi global.

Menurut Dr. Usman, pemerintah harus segera memperbaiki mekanisme penetapan status bencana agar lebih adaptif terhadap krisis iklim.

Banjir dan longsor yang terjadi hampir setiap tahun merupakan konsekuensi dari perubahan iklim, kerusakan hulu, tata ruang yang buruk, dan minimnya mitigasi.

“Menunda penetapan status hanya memperlebar jarak antara birokrasi dan penderitaan rakyat,” ujarnya.

Ia mendorong tiga langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah pusat.  Pertama, memperbarui standar penetapan bencana nasional agar relevan dengan kondisi darurat hidrometeorologi.

Kedua, memperkuat koordinasi pusat–daerah, dengan mobilisasi logistik dan anggaran cepat tanpa menunggu status tertentu. Dan ketiga, memperbesar investasi mitigasi seperti reboisasi, penataan DAS, early warning system, dan infrastruktur anti-banjir.

Di tengah ancaman hidrometeorologi yang terus meningkat, kata Dr. Usman, publik menunggu negara hadir dengan skala penanganan yang sepadan.

“Kritik ini bukan untuk melemahkan pemerintah, tetapi mengingatkan bahwa dalam urusan nyawa manusia, respons lambat bukan pilihan. Pemerintah masih punya waktu memperbaiki, tapi rakyat tidak selalu punya waktu untuk menunggu,” katanya.

Penulis: Hidayat Pulo | Editor: Redaksi

Media Online