Pemerintah Pusat Terkesan Mempermainkan Janji Perdamaian dengan Aceh

Pemerintah Pusat Terkesan Mempermainkan Janji Perdamaian dengan Aceh. Foto: Dok. MITRABERITA.NET

MITRABERITA.NET | Persoalan tapal batas antara Aceh dengan Sumatera Utara tampaknya tidak pernah ada penyelesaian secara tuntas. Masalah Batas Aceh dengan Sumatera Utara ini telah dibahas berulang kali sejak awal perdamaian ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

Setelah 20 tahun perdamaian, masalah tapal batas ini kembali terjadi. Hampir semua media di Aceh memberitakan polemik tersebut yang kesannya seperti persoalan baru dan baru terjadi pada tahun 2025. Padahal, sejak awal perdamaian Aceh, tapal batas menjadi salah satu pembahasan serius.

Bahkan, pada tahun 2020, Wali Nanggroe Aceh Tgk Malek Mahmud Al-Haytar bersama Ketua Umum Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, yang kini menjabat sebagai Gubernur Aceh periode 2025-2030, juga berulang kali bertemu Presiden Jokowi dan Kepala Staf Kantor Presiden (KSP) Moeldoko, untuk membahas persoalan itu.

Kini, persoalan tapal batas antara Aceh dengan Sumatera Utara kembali mengemuka setelah beredarnya informasi bahwa Empat Pulau milik Aceh, secara administratif, kini telah sah menjadi milik Provinsi Sumatera Utara.

Publik di Aceh pun dibuat heboh. Setiap warung kopi dipenuhi pembahasan mengenai kelemahan kontrol Pemerintah Aceh dan Anggota DPR Aceh bahkan DPR RI asal Aceh di Senayan, yang dianggap lengah, sehingga empat pulau milik Aceh tiba-tiba menjadi milik Provinsi Sumatera Utara dan telah diakui oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Sorotan tajam datang dari Sulaiman Manaf, sosok Ketua Laskar Panglima Nanggroe Aceh, yang juga tokoh masyarakat Aceh Timur. Sulaiman dengan tegas mengatakan, polemik empat pulau milik Aceh yang secara tiba-tiba beralih alamat menjadi milik Provinsi Sumatera Utara merupakan wujud ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam menjaga perdamaian di Aceh.

Padahal, menurut Sulaiman, Aceh telah dengan ikhlas menerima tapal batas sebelumnya dan tidak pernah ada lagi keributan meskipun beberapa wilayah Aceh berdasarkan peta Aceh tanggal 1 Juli 1956 telah bergabung dengan Sumatra Utara. Seperti, Kabupaten Karo, Deli dan Langkat.

Seharusnya, kata Sulaiman, Pemerintah Pusat tidak menyetujui lagi daerah lain di Aceh dicaplok oleh provinsi tetangga. “Pemerintah Pusat harusnya bisa mencegah hal itu terjadi jika tidak mau lagi ada konflik atau pemberontakan dari masyarakat Aceh,” ujarnya, Kamis 29 Mei 2025.

Sulaiman menuturkan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat harus serius dan bersama-sama menjaga kesepakatan perdamaian yang telah berjalan selama dua dekade. “Jangan sampai terjadi pengkhianatan atas perdamaian yang telah disepakati bersama. Kita semua paham, orang Aceh tidak suka dikhianati,” katanya.

Ketua Umum Laskar Panglima Nanggroe Aceh itu juga mengaku miris dengan keputusan Pemerintah Pusat yang akan membangun Empat Batalyon baru di Tanah Rencong. Yang mana, menurut dia hal itu tidak sesuai dengan isi perjanjian damai di Helsinki.

Dia pun mendesak Pemerintah Pusat membatalkan rencana tersebut walaupun telah ditender. “Ini bukan persoalan Aceh tidak menerima penambahan pasukan ke Aceh, tapi tentang janji yang harus ditaati bersama. Jangan juga empat pulau diganti dengan empat batalyon, karena bukan itu keinginan rakyat Aceh,” katanya.

Sulaiman menegaskan, yang dibutuhkan Aceh saat ini bukanlah batalyon tetapi pendidikan yang berkualitas dan pembangunan berkelanjutan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. “Karena saat ini Aceh masih bergelut dengan kemiskinan setelah puluhan tahun perang yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat,” jelasnya.

“Jika kemiskinan ini tidak teratasi hingga dana otonomi khusus untuk Aceh berakhir pada tahun 2027 nanti, bukan tidak mungkin benih-benih pemberontakan itu akan muncul kembali dan lahir kembali kata ‘Merdeka Aceh’ di kalangan generasi muda Aceh,” imbuhnya.

Itu sebabnya, kata Sulaiman, Pemerintah Pusat harus mengantisipasi hal itu sejak dini dengan tidak terjadi pengkhianatan dalam MoU Helsinki.

“Terakhir, saya ingin menegaskan dan mengingatkan kembali, perang itu bisa pecah kapan pun seperti dulu, Pemerintah wajib mengantisipasi ini sejak sekarang, kembalikan hak Aceh itu, batalkan pembangunan batalyon baru, sehingga sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi lagi, betul-betul tidak akan terjadi lagi, semua itu tergantung pada Pemerintah Pusat,” pungkasnya.

Penulis: Hidayat | Editor: Redaksi