MITRABERITA.NET | Mekkah, pada tahun ke-13 kenabian. Malam menyelimuti kota yang sunyi, tapi tidak bagi satu rumah kecil di ujung Mekkah. Di sana, seorang pria mulia tengah bersiap meninggalkan tanah kelahirannya.
Ia tahu, langkah ini akan mengubah segalanya. Sosok itu adalah Muhammad bin Abdullah, utusan terakhir Allah dalam menyempurnakan risalah Islam. Malam itu menjadi awal dari kisah hijrah, perjalanan suci yang kelak mengguncang sejarah peradaban umat manusia.
Sejak menerima wahyu pertama di Gua Hira, Rasulullah SAW menghadapi penolakan demi penolakan. Dihina, disakiti, dikucilkan, hingga diboikot secara ekonomi oleh kaumnya sendiri.
Umat Islam yang masih kecil jumlahnya kala itu, diburu, disiksa, bahkan dibunuh. Bilal bin Rabah dijemur di padang pasir, Sumayyah dibunuh dengan kejam, dan keluarga Yasir hidup dalam ketakutan setiap hari.
Mekkah, yang hari ini dikenal sebagai pusat haji di Arab Saudi, merupakan tempat kelahiran dan cinta Rasulullah, saat itu berubah menjadi ladang derita. Namun, iman mereka tak tergoyahkan.
Di tengah penindasan itu, cahaya harapan datang dari utara Kota Mekkah. Beberapa orang dari Yatsrib (Madinah) menyatakan keislaman mereka. Mereka menawarkan perlindungan dan dukungan.
Dua perjanjian di Aqabah pun disepakati, yang mana merupakan sebuah janji untuk melindungi Nabi Muhammad dan menerima Islam sepenuh hati. Madinah pun menanti, tapi perjalanan ke sana tidak mudah.
Malam Hijrah: Rencana, Doa dan Keyakinan
Kaum Quraisy merancang pembunuhan yang rapi. Mereka mengutus para pemuda terbaik dari setiap kabilah untuk menyerbu rumah Nabi secara serentak. Tapi Allah lebih berkuasa.
Rasulullah SAW meninggalkan rumah di malam buta, dan Ali bin Abi Thalib rela menggantikan posisi tidur Nabi, bahkan Ali tahu nyawanya jadi taruhan.
Bersama sahabat terkasihnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Rasulullah menempuh perjalanan jauh ke Madinah.
Mereka sempat bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari, sementara para musuh menyisir lembah dan gunung untuk mencari keberadaan dua hamba mulia tersebut untuk dibunuh.
Di dalam gua yang gelap, saat kaki musuh nyaris menginjak lubang persembunyian, Abu Bakar yang setia bersama Nabi pun dikisahkan sempat gemetar.
“Ya Rasulullah, andai mereka menunduk, mereka akan melihat kita.”
“Jangan bersedih, wahai Abu Bakar. Sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40).
Setelah 13 tahun berdakwah di Mekkah dan menghadapi berbagai penderitaan, akhirnya Rasulullah dan para sahabat sampai di Yatsrib. Di sana, mereka disambut dengan lantunan syair:
“Tala‘al badru ‘alainaa, min tsaniyyatil wada‘...”
(Telah terbit bulan purnama atas kami, dari celah perbukitan Wada‘)
Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi transformasi total. Di Madinah, Islam tumbuh sebagai kekuatan spiritual, sosial, dan politik yang mengguncang dunia.
Di sinilah pondasi masyarakat Islam dibangun, masjid pertama, piagam Madinah, dan persaudaraan Muhajirin–Anshar yang menakjubkan.
=====
Hijrah adalah pelajaran tentang keberanian meninggalkan kenyamanan demi kebenaran. Tentang pengorbanan sahabat, cinta tanpa pamrih, dan keyakinan bahwa pertolongan Allah selalu ada.
Rasulullah tidak hanya pindah kota. Ia memindahkan sejarah dari kegelapan menuju cahaya.
Manusia mulia itu bersama para sahabatnya telah mengajarkan bahwa setiap perubahan besar lahir dari langkah-langkah sunyi yang penuh keikhlasan.
Hijrah adalah kisah tentang cinta kepada Tuhan, kepada kebenaran, dan kepada sesama manusia. Ia bukan sekedar cerita masa lalu yang tidak berguna, tetapi justru mengalami inspirasi abadi.
Setiap dari kita memiliki “Mekkah” tempat kelam yang harus kita tinggalkan, dan “Madinah” yang sedang menanti, kehidupan yang lebih bersih, lebih baik, lebih bermakna.
Editor: Tim Redaksi