PERSPEKTIF

Menuntut Kejelasan Pembangunan Jalan Tangse

×

Menuntut Kejelasan Pembangunan Jalan Tangse

Sebarkan artikel ini

SATU bulan telah berlalu sejak aksi Gerakan Rakyat Menggugat (GRAM) digelar di Gedung DPRA, namun suara masyarakat Tangse masih menggema di jalanan yang berlubang, bukan di ruang-ruang kebijakan.

Ketika janji-janji perbaikan yang diucapkan langsung oleh wakil rakyat tak kunjung ditepati, maka wajarlah jika masyarakat mulai mempertanyakan: apakah ini murni kelalaian, atau sudah mengarah pada tindak korupsi?

Kerusakan jalan lintas nasional Tangse-Geumpang, yang diakibatkan oleh proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Rukoh, adalah masalah nyata yang menuntut solusi konkret.

Anggaran sebesar Rp59 miliar sudah disebutkan, namun hingga kini tak ada jejak fisik dari dana tersebut. PJN sebagai pelaksana tanggung jawab perbaikan pun seolah hilang tanpa kabar. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?

Ketika Janji Tak Lebih dari Alat Redam Protes

Aksi massa pada 7 Mei 2025, yang berlangsung damai dan konstruktif, seharusnya menjadi momentum penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif daerah.

Wakil Ketua DPRA bahkan menyepakati tuntutan massa dan menjanjikan tindak lanjut dalam waktu empat hari. Namun kini, sebulan berlalu tanpa satu pun transparansi atau aksi nyata.

Tidak hanya janji kosong yang ditinggalkan, tapi juga kekecewaan yang makin mendalam dari masyarakat.

Ketika negara menjanjikan pembangunan namun gagal memitigasi dampaknya terhadap masyarakat sekitar, itu adalah bentuk pengabaian struktural. Ketika DPR menyepakati tuntutan rakyat tapi tidak mengawal realisasinya, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap fungsi representasi.

Rakyat Tidak Butuh Retorika, Tapi Kepastian

Kekecewaan warga bukan tanpa dasar. Dalam kurun empat tahun, perbaikan jalan di Tangse hanya menjadi bahan kampanye dan janji kosong. Masyarakat sudah terlalu sabar, terlalu sering mendengar retorika yang sama.

Tak heran jika kini muncul dugaan bahwa anggaran perbaikan jalan telah diselewengkan. Jika transparansi tidak segera diberikan, dugaan ini akan terus tumbuh menjadi ketidakpercayaan yang lebih besar terhadap institusi pemerintah.

Seperti yang diungkapkan beberapa mahasiswa dalam aksinya, “Jangan biarkan janji tinggal janji, rakyat butuh bukti, bukan sekadar ucapan manis.”

Ucapan ini tidak hanya kritik, tapi juga seruan moral kepada mereka yang selama ini menjanjikan perubahan tapi tak kunjung bergerak untuk melakukan perbaikan.

Solusi: Transparansi, Evaluasi, dan Keterlibatan Publik

Pertama, pemerintah Aceh dan PJN wajib membuka data publik secara rinci, ke mana anggaran Rp59 miliar itu mengalir? Apa kendala yang membuat perbaikan jalan tak kunjung dilaksanakan? Transparansi ini adalah bentuk pertanggungjawaban dasar dalam demokrasi.

Kedua, DPR Aceh harus segera membentuk tim pengawasan independen terhadap proyek ini, melibatkan akademisi, LSM antikorupsi, dan tokoh masyarakat. Jangan biarkan fungsi pengawasan hanya sebatas dokumen seremonial.

Ketiga, pelibatan aktif masyarakat dalam pemantauan proyek infrastruktur harus dilembagakan. Jika rakyat yang merasakan langsung dampaknya tidak dilibatkan dalam solusi, maka ketidakpercayaan akan terus tumbuh.

Kerusakan jalan Tangse bukan hanya soal infrastruktur yang berlubang. Ia adalah simbol dari sistem yang rapuh, janji yang gagal ditepati, dan suara rakyat yang terus diabaikan.

Jika pemerintah tidak segera merespons dengan tindakan nyata, maka yang rusak bukan hanya jalan, tapi juga kepercayaan publik yang sudah terlalu lama diuji.

Ditulis oleh: Arifal Akbar (Mahasiswa Ilmu Politik UIN Ar-Raniry)

Media Online