MITRABERITA.NET | Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) asli harus dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang sebelum mengurus izin dan operasi tambang.
Jika dokumen AMDAL asli belum dikeluarkan, maka tidak diperbolehkan mengurus izin dan operasi tambang dengan menggunakan dokumen AMDAL fotokopi.
“Sungguh ironis, setelah sekian lama beroperasi di Aceh Selatan, ternyata PT Pinang Sejati Utama diketahui belum mengantongi dokumen AMDAL asli, namun justru hanya mengandalkan foto kopi,” ungkap Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) Fadhli Irman, Kamis 31 Juli 2025.
Menurutnya, hal tersebut harus menjadi salah satu poin bagi Pemkab Aceh Selatan dalam melakukan evaluasi karena berpotensi bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 Undang-undang Minerba.
Ia meminta Pemerintah Aceh Selatan melihat kembali Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan dan juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.38/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2019 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penilaian Dokumen AMDAL.
Menurut Irman, penggunaan dokumen AMDAL foto kopi tanpa mengantongi dokumen asli dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan berakibat pada penolakan izin, sanksi administratif seperti pencabutan izin dan denda, bahkan dalam kasus yang lebih serius bisa saja terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang menimbulkan persoalan hukum.
“Kita melihat dalam persoalan PT PSU, hal yang sangat tidak logis bagaimana mungkin sebuah perusahaan tambang mendapatkan izin dan beroperasi tanpa mengantongi dokumen AMDAL yang asli,” ujarnya.
Irman menambahkan, persoalan lain yang perlu dilirik oleh Pemkab Aceh Selatan dalam melakukan evaluasi terhadap KSU Tiega Manggis dan PT PSU adalah adanya indikasi terdapatnya mineral lain berupa emas di lokasi IUP yang dikuasai oleh KSU Tiega Manggis, namun secara izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi yang dimiliki selama ini hanya berupa penambangan bijih besi.
“Berdasarkan informasi dari masyarakat, selama ini ketika masyarakat mencoba mendulang material sisa/limbah yang dihasilkan dari produksi KSU Tiega Manggis juga ditemukan emas, sehingga hal ini perlu dicek lebih lanjut sebagai bahan evaluasi oleh pemerintah agar tidak merugikan daerah negara dan masyarakat,” jelasnya.
Irman menjelaskan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 junto UU Nomor 2 tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ditegaskan, jika di lokasi tambang bijih besi terdapat mineral emas dan mineral lainnya, maka perusahaan harus mencantumkan semua jenis mineral yang terkandung dalam lokasi tambang tersebut dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kata Irman, kewajiban kepada perusahaan/KSU untuk mencantumkan jenis mineral lainnya dalam IUP bertujuan untuk menghindari kegiatan penambangan ilegal, mengatur kewajiban dan hak perusahaan, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
“Jangan sampai izinnya bijih besi, namun secara diam-diam juga memproduksi emas, ini bisa menimbulkan kerugian signifikan terhadap daerah, negara dan masyarakat. Jadi, persoalan ini juga harus dievaluasi,” tegasnya.
Tak hanya itu, persoalan konflik sosial yang terjadi selama ini juga disebabkan oleh tidak transparannya pengelolaan dana tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan serta sejumlah kompensasi yang dijanjikan oleh perusahaan.
“Untuk itu, kami juga mendesak agar Pemkab Aceh Selatan dalam evaluasi nanti agar merekomendasikan audit dana CSR yang direalisasikan perusahaan selama beroperasi. Apalagi perusahaan dan KSU pertambangan tersebut sudah beroperasi sejak 2010 dan diperpanjang izinnya pada tahun 2020, tentu seharusnya telah memberikan kontribusi maksimal terhadap pendapatan asli daerah dan masyarakat sekitar,” imbuhnya.
Irman juga menuturkan, jika kehadiran perusahaan pertambangan tersebut hanya sebatas mengambil hasil alam tanpa adanya kejelasan terhadap kewajibannya baik itu kepada daerah maupun masyarakat setempat, lebih baik Bupati Aceh Selatan menggunakan kewenangannya mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin perusahaan.
“Kita berharap Pemkab Aceh Selatan benar-benar dapat melakukan evaluasi semaksimal mungkin dan tidak segan-segan mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin sesuai ketentuan yang berlaku, jika dalam evaluasi ditemukan persoalan pelanggaran yang dilakukan KSU Tiega Manggis sebagai pemegang IUP maupun PT Pinang Sejati Utama sebagai pemegang IUPK,” pungkasnya.
Belum ada penjelasan atau pernyataan resmi dari pihak perusahaan terhadap kritikan maupun berbagai masukan yang disampaikan oleh masyarakat terkait sejumlah persoalan tersebut.
Editor: Redaksi