MITRABERITA.NET | Stabilitas politik nasional berguncang hebat akibat keputusan kementerian dalam negeri (Kemendagri) yang menyerahkan empat pulau milik Aceh kepada provinsi Sumatera Utara secara sepihak.
Masyarakat Aceh yang selama i,dua dekade ni hidup damai pasca perjanjian damai MoU Helsinki, tiba-tiba mulai menyuarakan kembali ketidakpercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Nyaris semua elemen masyarakat Aceh angkat bicara gara-gara keputusan menteri dalam negeri Mendagri Tito Karnavian, yang memicu instabilitas politik nasional. Presiden Prabowo Subianto pun terpaksa turun tangan menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan Tito Karnavian.
Di sisi lain, Laskar Panglima Nanggroe">Juru Bicara Laskar Panglima Nanggroe, Muhammad Kahli Gibran, mengingatkan bahwa keputusan sepihak pemerintah pusat melalui SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 bukan hanya pelanggaran administratif, tapi pengkhianatan terang-terangan terhadap perdamaian Aceh yang dibangun melalui darah dan diplomasi panjang.
“Kalau perdamaian ini dikhianati, pertanyaannya: apakah kaum muda Aceh siap kembali bergrilya? Apakah kita sudah siap Referendum? Atau kita hanya akan diam saat tanah leluhur dicabik?” kata Kahli penuh penasaran, Ahad 15 Juni 2025.
Dalam keterangannya kepada media, ia mengaku cemas melihat sikap Mendagri Tito Karnavian yang mencaplok tanah Aceh yaitu empat pulau yang bikin gaduh seantero Indonesia.
Keempat pulau tersebut; Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Pulau Panjang, saat ini menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan keputusan Tito Karnavian.
Kahli Gibran pun menuding bahwa komitmen pemerintah pusat terhadap perdamaian dengan Aceh yang telah dicapai pada tahun 2005 silam sangat rapuh.
“Aceh ini bukan anak kecil yang bisa digertak dengan SK. Kita punya dasar hukum, kita punya sejarah, dan kita punya hak untuk menentukan masa depan jika pusat lupa diri,” katanya.
Menurutnya, MoU Helsinki bukan pilar yang hanya bersifat simbolik. Ia menegaskan bahwa MoU Helsinki telah diikat dalam konstitusi nasional melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Pasal 1.1 MoU menyebutkan bahwa Aceh akan menjalankan pemerintahan sendiri secara demokratis dan adil. Lalu Pasal 1.3 menegaskan wilayah Aceh meliputi wilayah yang ada dalam peta tahun 1956. Ini bukan tafsir, ini teks hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kahli Gibran menuding pusat bermain-main dengan bara api. Ia menyebut pengabaian terhadap ketentuan wilayah sebagaimana dimandatkan MoU Helsinki sama saja menampar wajah rakyat Aceh yang telah menanggalkan senjata demi perdamaian.
“Jangan paksa rakyat Aceh untuk kembali ke jalan lama. Jangan kira generasi hari ini tak punya nyali seperti generasi Gerakan Aceh Merdeka dulu,” kecam Kahli Gibran.
Menurutnya, generasi muda Aceh kini perlu berefleksi: apakah mereka hanya akan menjadi konsumen kebijakan pusat yang timpang, atau menjadi penjaga martabat tanah kelahiran.
“Kalau MoU dijadikan lelucon, jika UUPA diinjak-injak, referendum bisa menjadi keniscayaan. Ini bukan ancaman, ini seruan moral,” ungkapnya.
Itu sebabnya, Kahli Gibran mendorong Presiden Prabowo Subianto bisa mengambil keputusan dengan bijak pada saat memutuskan empat pulau tersebut agar tidak menimbulkan konflik baru.
Jika Presiden salah langkah, kata Gibran, yang pecah bukan hanya hubungan antar provinsi, melainkan keretakan kepercayaan rakyat Aceh terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Jangan mengira semua bisa diselesaikan dengan instruksi dari Jakarta. Di Aceh, tanah adalah harga diri. Kami tidak akan tunduk pada birokrasi yang korup dan pongah,” pungkasnya.
Editor: Tim Redaksi