DINAMIKA

KPA Luwa Nanggroe Pasang Badan untuk Ketua DPRA: Itu Peringatan!

×

KPA Luwa Nanggroe Pasang Badan untuk Ketua DPRA: Itu Peringatan!

Sebarkan artikel ini
Ketua KPA Luwa Nanggroe, T Emi Syamsyumi alias Abu Salam. Foto: Dok. KPA Luwa Nanggroe

MITRABERITA.NET | Dukungan terhadap pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadhli, yang secara terbuka menyampaikan opsi pisah dari Pusat makin menguat. Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe dengan lantang menyatakan keberpihakan.

Ketua KPA Luwa Nanggroe, T Emi Syamsyumi alias Abu Salam, menegaskan bahwa ucapan Zulfadhli dalam merespons tuntutan mahasiswa bukan sekadar lontaran emosional, melainkan bentuk kejujuran politik.

“Itu suara hati rakyat Aceh. Pisah dari Jakarta bukan dosa, itu hak politik yang dijamin sejarah dan hukum,” ujar Abu Salam, dalam keterangan yang diterima media ini, Kamis 4 September 2025.

Pernyataan itu dilontarkan menyusul desakan sejumlah pihak yang meminta Zulfadhli mundur dari kursi Ketua DPRA, termasuk dari Ketua Pembela Tanah Air (PeTA), Teuku Sukandi.

Abu Salam mengungkap, Sukandi adalah sosok yang di masa konflik dikenal sebagai “Milisi” –barisan anti Gerakan Aceh Merdeka (GAM)– yang bahkan kerap menyebut GAM sebagai kelompok biadab.

“Jangan bawa-bawa nama Teuku untuk menutupi sejarah. Sejak dulu para Teuku berdiri di garis depan perjuangan Aceh. Kalau ada yang mengaku keturunan tapi justru jadi alat penindasan, itu pengkhianat, bukan perjuangan,” tegas Abu Salam.

Ucapan Abu Salam itu seolah membuka kembali luka lama konflik bersenjata di Aceh. Baginya, tudingan bahwa Zulfadhli mengancam perdamaian justru terbalik.

“Kalau berbicara pisah dari Indonesia dianggap provokatif, lantas bagaimana dengan MoU Helsinki yang sah secara hukum internasional?” katanya.

MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005, jelas Abu Salam, bukan sekadar dokumen perdamaian, melainkan kontrak politik yang menjamin self-government Aceh.

“Di sana jelas ditegaskan: Aceh berhak mengatur dirinya sendiri, punya partai politik lokal, bendera, lambang, hingga pengelolaan sumber daya. Itu bentuk pengakuan hak menentukan nasib sendiri. Kalau hari ini rakyat bicara pisah, itu konsekuensi dari janji-janji yang dikhianati Jakarta,” ungkapnya.

Menurut Abu Salam, seruan Zulfadhli adalah alarm keras bahwa Pemerintah Pusat gagal memenuhi butir-butir MoU yang sudah berusia dua dekade.

“Jangan salahkan rakyat kalau kembali bersuara lebih keras. Itu bukan provokasi, itu peringatan,” katanya dengan nada tajam.

Dukungan terbuka KPA Luwa Nanggroe ini jelas menyulut bara politik Aceh. Di satu sisi, publik yang pro-perdamaian khawatir ucapan Zulfadhli bisa menghidupkan kembali wacana separatisme.

Namun, di sisi lain, bagi kalangan eks kombatan, pernyataan itu adalah artikulasi kekecewaan yang sudah lama ditahan.

“Selama dua puluh tahun, MoU Helsinki jadi jargon tanpa implementasi penuh. Migas masih Jakarta yang kendalikan, tanah ulayat diperas korporasi, rakyat cuma dapat remah. Kalau begini, buat apa kita bertahan?” kata Abu Salam.

“KPA Luwa Nanggroe berdiri di belakang Zulfadhli. Jangan coba-coba tekan dia, karena itu sama saja menekan suara rakyat Aceh,” tegasnAbu Salam nya menutup pernyataannya.

Editor: Redaksi

Media Online