PERSPEKTIFUTAMA

Korupsi Kebijakan: Ketika Dirut Angkasa Pura Menabrak Semangat Ekonomi Rakyat

×

Korupsi Kebijakan: Ketika Dirut Angkasa Pura Menabrak Semangat Ekonomi Rakyat

Sebarkan artikel ini
Foto: Ilustrasi/ google

KETIKA Presiden Prabowo Subianto gencar menegaskan bahwa koperasi dan UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional, publik menaruh harapan besar pada kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Namun, di tengah semangat kebangkitan ekonomi kerakyatan itu, muncul paradoks di jantung pariwisata Indonesia yakni Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Di tempat yang menjadi simbol keterbukaan bangsa kepada dunia itu, kebijakan korporasi justru melahirkan kegelisahan dan dugaan penyimpangan kekuasaan.

Direktur Utama PT Angkasa Pura Indonesia, Rizal Pahlevi, diduga melakukan apa yang disebut banyak kalangan sebagai “korupsi kebijakan” dengan menggusur Koperasi Karyawan Angkasa Pura (KOKAPURA) dari bandara Ngurah Rai. Koperasi yang telah beroperasi lebih dari dua puluh tahun dan memberi kontribusi nyata bagi kesejahteraan karyawan serta pengelolaan bandara itu, kini disingkirkan dengan alasan administratif yang mencurigakan.

Ironisnya, KOKAPURA Bandara Ngurah Rai bukan entitas sembarangan. Koperasi ini tumbuh dari semangat karyawan, memberikan lapangan kerja, dan ikut menggerakkan roda ekonomi lokal. Lebih dari itu, salah satu pendirinya adalah putra pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai, nama yang diabadikan sebagai identitas bandara itu sendiri. Artinya, KOKAPURA adalah bagian dari sejarah, bagian dari kemandirian bangsa dalam mengelola aset publik.

Namun, kebijakan baru yang muncul setelah pengangkatan Rizal Pahlevi sebagai Direktur Utama pada Mei 2025 justru menyingkirkan KOKAPURA melalui proses yang dinilai banyak pihak sebagai manipulatif. Pemutusan kerja sama dilakukan secara sepihak, meskipun perjanjian resmi antara KOKAPURA dan PT Angkasa Pura Indonesia masih berlaku hingga 31 Desember 2025, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan Nomor BAC.DPS.V.CN.0935/XII/2024 tertanggal 17 Desember 2024.

Alasan yang digunakan oleh manajemen Angkasa Pura adalah bahwa KOKAPURA gagal dalam seleksi mitra baru. Namun, seleksi itu sendiri disebut-sebut tidak transparan dan berakhir dengan kemenangan pihak swasta, PT Pasifik Energi Trans. Fakta yang mencurigakan adalah bahwa Rizal Pahlevi, sebelum menjadi Direktur Utama Angkasa Pura Indonesia, pernah menjabat sebagai Direktur di perusahaan tersebut.

Jika dugaan ini benar, maka keputusan itu tidak hanya cacat moral, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Lebih jauh lagi, tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang mewajibkan negara dan BUMN memberikan ruang bagi tumbuhnya koperasi sebagai mitra strategis ekonomi rakyat.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang komitmen pemerintah terhadap pemberdayaan ekonomi rakyat. Di satu sisi, Presiden Prabowo berulang kali menegaskan pentingnya koperasi dan ekonomi kerakyatan. Di sisi lain, kebijakan korporasi yang dilakukan oleh pejabat BUMN justru melemahkan semangat itu. Publik tentu berharap agar Kementerian BUMN dan Kementerian Koperasi tidak menutup mata terhadap praktik seperti ini. Sebab, jika dibiarkan, tindakan tersebut tidak hanya merusak reputasi Angkasa Pura sebagai pengelola bandara nasional, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan ekonomi yang berkeadilan.

Tergusurnya KOKAPURA di Bandara Ngurah Rai bukan sekadar persoalan bisnis, tetapi juga pertarungan nilai antara ekonomi rakyat dan ekonomi korporasi. Ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam menjaga konsistensi arah kebijakan nasional. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2024, terdapat lebih dari 127 ribu koperasi aktif di Indonesia dengan lebih dari 35 juta tenaga kerja. Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka koperasi-koperasi di seluruh Indonesia akan kehilangan posisi tawar dan rasa aman, sebab kapan pun mereka bisa digusur atas nama “efisiensi” atau “restrukturisasi” yang kerap dijadikan alasan oleh pejabat korporasi negara.

KPK dan Kejaksaan Agung perlu bertindak cepat menyelidiki dugaan konflik kepentingan, manipulasi seleksi, dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini. Pemerintah harus menunjukkan bahwa agenda bersih-bersih di tubuh BUMN bukan sekadar jargon politik. Jika aparat penegak hukum membiarkan praktik seperti ini, maka pesan yang tersampaikan kepada publik sangat jelas bahwa hukum hanya tegas kepada rakyat kecil, tetapi lunak terhadap kekuasaan.

Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam semangat itu, koperasi bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga manifestasi dari jati diri bangsa. Ketika kebijakan korporasi justru menyingkirkan koperasi dari ruang ekonomi strategis, maka sejatinya kita sedang menyaksikan bentuk baru kolonialisme ekonomi namun bukan dari bangsa lain, melainkan dari dalam tubuh negara sendiri. Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka yang tergusur bukan hanya KOKAPURA, melainkan juga semangat keadilan sosial yang menjadi dasar berdirinya Republik ini.

Ditulis oleh: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

Media Online