MITRABERITA.NET | Program pembangunan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih kembali menjadi sorotan tajam dalam rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Koperasi serta Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara di Senayan, Jakarta, pada Selasa (18/11/2025).
Dua anggota Komisi VI, Mufti Aimah Nurul Anam dan Wakil Ketua Komisi VI Nurdin Halid, melayangkan kritik keras terkait besaran anggaran pembangunan hingga rencana penggunaan dana desa sebagai jaminan pembiayaan koperasi tersebut.
Dalam forum tersebut, Anggota Komisi VI Mufti Aimah, secara terbuka mempertanyakan rasionalitas biaya pembangunan satu unit Kopdes Merah Putih yang mencapai Rp1,6 miliar.
Pertanyaan itu ia lontarkan langsung kepada Direktur Utama PT Agrinas, Joao Angelo De Sousa Mota. “Biaya satu gedung berapa, Pak?” tanya Mufti.
Joao menjawab bahwa angka Rp1,6 miliar masih dianggap rasional. Namun, Mufti menilai besaran tersebut jauh dari kebutuhan masyarakat saat ini.
“Kenapa harus buang anggaran negara, sedangkan rakyat hari ini untuk makan besok saja susah? Jangankan Rp1,6 miliar per gedung, kalau dijumlahkan, Rp1 miliar saja sudah Rp80 triliun uang negara yang terhambur,” tegasnya.
Joao kemudian menjelaskan progres pembangunan nasional Kopdes Merah Putih. Sejak 17 Oktober 2025, sudah berdiri 13.772 gerai atau 16,44 persen dari total target. Pihaknya menargetkan pembangunan mencapai 2.930 gerai per hari.
Namun, kritik tidak berhenti di angka pembangunan.
Wakil Ketua Komisi VI, Nurdin Halid, menyoroti rencana pemerintah menggunakan dana desa sebagai jaminan pembiayaan koperasi. Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan risiko fiskal besar.
“Menjadikan dana desa sebagai jaminan 30 persen dari pembiayaan Rp3 miliar per unit itu terlalu berisiko. Bisa membebani APBN jika tidak dikelola secara hati-hati,” ujarnya.
Nurdin juga mengingatkan bahwa APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) telah menyampaikan penolakan tegas terhadap wacana pengalihan dana desa sebesar Rp40 triliun untuk mendukung program Kopdes.
Menurut APDESI, mekanisme dan tata kelola program belum disiapkan secara matang dan dapat memicu masalah di tingkat desa.
Politisi Partai Golkar itu kemudian membandingkan pengelolaan koperasi di era Orde Baru yang dinilai lebih terukur dan tidak membebani APBN.
Ia mencontohkan pengadaan fasilitas gudang pada koperasi pangan yang pelunasannya dilakukan melalui mekanisme penyerapan gabah dan kerja sama dengan Bulog.
Nurdin menegaskan perlunya skema pembiayaan yang lebih realistis untuk pendanaan Rp3 miliar per unit koperasi, baik untuk pembangunan gerai, gudang, maupun pengembangan usaha.
“Jangan sampai program ini menjadi beban fiskal baru bagi negara. Kementerian Koperasi harus menyiapkan mekanisme pembayaran yang jelas dan aman,” tutupnya.
Editor: Redaksi











