Koalisi NGO HAM: Kondisi Buruh Kita Sangat Rentan Secara Ekonomi 

Koalisi NGO HAM: Kondisi Buruh Kita Sangat Rentan Secara Ekonomi. Foto: Dok. Koalisi NGO HAM Aceh

MITRABERITA.NET | Seruan untuk menghadirkan keadilan bagi para buruh di Indonesia kembali menggema menjelang peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) pada 1 Mei 2025.

Seruan itu mengemuka dalam acara diskusi publik bertajuk “Mengawal Kebijakan Pemerintah dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Buruh” pada Kamis 24 April 2025.

Koalisi NGO HAM Aceh">Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil Arista, menegaskan bahwa negara seharusnya hadir untuk memastikan buruh memperoleh upah, jaminan, dan lingkungan kerja yang layak.

“Kita sering berteriak di Hari Buruh, tapi terkadang lupa makna sejati dari May Day,” ujar Khairil dalam sambutannya di hadapan peserta diskusi yang digelar di Ivory Coffee, Banda Aceh, Kamis 24 April.

Kegiatan tersebut dihadiri lima puluh mahasiswa lintas universitas di Aceh. Panitia menghadirkan dua narasumber yaitu; Pengamat Politik dan Ekonomi Aceh, Dr. Taufiq A. Rahim, Ph.D, dan Ketua DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Aceh, Habibi Inseun, SE.

Dalam kesempatan itu, Khairil menyoroti bahwa realitas buruh di Aceh kerap terabaikan. Banyak masyarakat yang sebenarnya termasuk dalam kategori buruh, namun tak menyadarinya.

“Banyak dari kita merasa bukan buruh, padahal bekerja di kebun sawit, SPBU, atau terminal. Standar pendapatan belum merata, ditambah ketimpangan psikologis sosial di masyarakat. Banyak dari mereka bekerja di lahan yang bukan milik sendiri, sehingga saat dilakukan pendataan, angka kemiskinan tetap tinggi,” katanya.

Ia menambahkan bahwa di Banda Aceh, sekitar 50% tenaga kerja adalah pekerja kantoran, sisanya buruh kasar dan masyarakat miskin kota. “Biaya hidup tinggi, tapi masih ada office boy yang digaji di bawah UMR. Di sinilah negara harus hadir,” tegasnya.

Koalisi NGO HAM: Kondisi Buruh Kita Sangat Rentan Secara Ekonomi. Foto: Dok. Koalisi NGO HAM Aceh

Dalam konteks kebijakan, Khairil mengingatkan pemerintah untuk tidak bersikap diskriminatif. Ia menekankan pentingnya pembukaan lapangan kerja dan penghentian pemecatan sepihak.

“Seringkali pabrik diminta memprioritaskan tenaga lokal, namun lulusan sarjana enggan kembali ke kampung halaman, sementara mayoritas penduduk sekitar hanya berpendidikan SMA,” jelasnya.

Senada dengan Khairil, Ketua DPW FSPMI Aceh, Habibi Inseun, menyebut kondisi buruh di Aceh sangat rentan dari sisi ekonomi. Menurutnya, diskusi seperti ini penting sebagai bagian dari perjuangan jangka panjang.

“Kondisi buruh kita sangat rentan secara ekonomi. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi pemerintah,” ujarnya.

Habibi juga menegaskan bahwa siapa pun yang menerima upah –bukan gaji– secara terminologi bisa disebut sebagai buruh. “Buruh formal dan informal di Aceh sudah ada sejak lama, bahkan sebelum tsunami,” katanya.

Ia menegaskan bahwa Indonesia hanya akan mencapai kesejahteraan jika kesetaraan kesempatan dan distribusi pendapatan dijamin secara adil. “Jika dibandingkan dengan Australia, UMR kita belum cukup memenuhi kebutuhan dasar, padahal beban kerja relatif sama,” katanya.

Habibi turut mengkritisi lambannya pengesahan Qanun Ketenagakerjaan di Aceh yang memakan waktu tujuh tahun sejak diajukan.

“Ini menunjukkan ketidaksiapan regulator dan legislatif dalam memahami isu ketenagakerjaan. Padahal, Aceh memiliki kekhususan melalui qanun tersebut,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa meski gerakan buruh tak selalu tampak di permukaan, perjuangan mereka tetap berjalan. “Hanya sedikit buruh swasta di Aceh yang tergabung dalam serikat, tidak sampai 100 ribu orang dari total 2,5 juta angkatan kerja,” pungkasnya.

Koalisi NGO HAM: Kondisi Buruh Kita Sangat Rentan Secara Ekonomi. Foto: Dok. Koalisi NGO HAM Aceh

Sementara itu, Dr. Taufiq A. Rahim menyoroti pentingnya peran legislatif dalam mengawal kesejahteraan buruh. “Yang makan gaji negara mestinya yang mengawal rakyat, bukan sebaliknya,” ucapnya.

Ia juga mengkritisi kedekatan pemilik modal dengan pengambil kebijakan yang dinilai semakin menggerus keadilan.

“Di luar pemberi kerja dan pemilik modal, semua adalah buruh. Tapi sistem hari ini lebih berpihak pada kapital,” jelasnya.

Menurutnya, rendahnya pendapatan dan daya beli masyarakat menjadi indikator kesejahteraan yang belum tercapai.

“Ketika harga naik, banyak orang tak mampu membeli kebutuhan dasar. Inilah yang disebut sebagai kelompok rentan,” tambahnya.

Taufiq menutup dengan menyinggung bahwa kesejahteraan rakyat telah dipolitisasi melalui praktik pork barrel –penggunaan anggaran demi kepentingan elektoral semata, bukan untuk kesejahteraan publik.

Penulis: Hidayat | Editor: Redaksi