Seperti pepatah mengatakan, “Orang Lain Makan Nangka, Kita Kena Getahnya“
Di balik kesan glamour profesi wartawan, ada tantangan dan risiko yang sering kali tak terlihat oleh publik. Seorang wartawan di Aceh Besar mengungkapkan betapa beratnya medan perjuangan jurnalis ketika berhadapan dengan praktek korupsi yang melibatkan oknum kepala sekolah.
Selama ini, sekolah-sekolah yang seharusnya transparan dalam pengelolaan dana BOS dan dana beasiswa, sering kali menjadi medan pertempuran yang penuh intrik. Wartawan yang kini enggan disebut namanya tersebut, berbagi pengalaman pahitnya saat meliput kasus dugaan korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP) di sebuah sekolah di Aceh Besar.
Kisahnya dimulai dengan niat sederhana: melakukan wawancara untuk mengungkapkan dugaan penyelewengan dana PIP. Namun, bukan jawaban yang diperoleh, melainkan tawaran suap dari oknum kepala sekolah. Bukannya memberikan bukti penggunaan dana yang transparan, oknum kepala sekolah tersebut malah mencoba menyogok si wartawan dengan sejumlah uang.
Kendati tawaran itu menambah jumlahnya dari dua juta rupiah menjadi lebih besar, si wartawan tetap teguh pada prinsipnya. Penolakan tegas terhadap tawaran tersebut berbuah hasil. Berita pertama terbit, diikuti dengan dua laporan tambahan yang mengungkap kejanggalan lebih lanjut mengenai penyaluran beasiswa PIP.
Reaksi kepala sekolah tak kalah dramatis. Bukannya mengoreksi kesalahannya, ia malah semakin agresif, bahkan mengadakan pertemuan dengan wali murid untuk mengeluhkan “gangguan” wartawan. Ironisnya, ia mengklaim bahwa uang beasiswa yang tadinya menghilang kini harus disalurkan karena tekanan publik.
Menurut laporan orang tua siswa, uang beasiswa yang seharusnya disalurkan penuh kepada siswa sering kali disunat. Ada yang hanya menerima sebagian kecil dari total beasiswa yang dianggarkan, dan sebagian hilang tanpa jejak. Fenomena ini menggambarkan potret suram ketidakadilan yang dialami oleh siswa dan orang tua.
Beruntungnya, oknum kepala sekolah tersebut langsung membagikan hak hak siswa berupa uang beasiswa PIP yang dihadiri langsung oleh para orang tua siswa. Sehingga, kasus tersebut tidak berujung di meja hijau. Pada akhirnya para orang tua senang dan mengaku puas dengan bantuan wartawan yang mau memproses laporan mereka, dan rencana korupsi berhasil digagalkan.
Lebih memprihatinkan, profesi wartawan malah menjadi kambing hitam dalam situasi ini. Oknum-oknum kepala sekolah yang terlibat dalam korupsi dan pungutan liar sering kali berusaha menyamarkan ketidakberesan mereka dengan menyudutkan wartawan yang berusaha mengungkap kebenaran. Akibatnya, wartawan yang sebenarnya melakukan tugasnya dengan penuh integritas, justru terkena getah dari perbuatan orang lain.
Dalam situasi ini, profesi wartawan terjebak dalam dilema: berhadapan dengan para pelaku korupsi yang cerdik dan berusaha menutupi jejak mereka dengan segala cara. Tak jarang, wartawan yang berjuang untuk menegakkan kebenaran justru menjadi korban sistem yang tidak adil.
Seperti pepatah mengatakan, “Orang lain makan nangka, kita kena getahnya.” Itulah realita yang dihadapi oleh para jurnalis di lapangan. Mereka tidak hanya menghadapi risiko dari penyogokan dan tekanan, tetapi juga harus berjuang melawan stigma negatif yang dituduhkan pada profesi mereka.
Di tengah ketidakadilan dan korupsi yang merajalela, tetap ada secercah harapan bahwa integritas dan keberanian wartawan akan menjadi pilar untuk membawa perubahan positif. Semoga pengalaman ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak agar lebih menghargai dan mendukung tugas-tugas jurnalis yang berupaya mengungkap fakta demi kepentingan publik.